JAKARTA – Ambisi Presiden Joko Widodo untuk mempermudah izin investasi dalam rangka meningkatkan perekonomian tanah air, dan memperkecil ruang korupsi dengan mengadakan PP OSS (Online Single Submission) diakui sejumlah pihak sebagai kemajuan dalam reformasi birokrasi.
Namun sayangnya, menurut sejumlah LSM peduli lingkungan, Jokowi justru menghilangkan suatu hal yang tidak kalah penting untuk keberlangsungan pelestarian Sumber Daya Alam (SDA) yaitu menjadikan studi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) bukan lagi komponen utama dalam proses penerbitan izin usaha investasi.
Deputi Program Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) Raynaldo Sembiring, mengatakan boleh saja pemerintah berambisi untuk meningkatkan investasi dengan mempermudah keluarnya izin usaha, namun kalau harus mengancam pelestarian SDA, maka hal tersebut sangat berbahaya, karena PP OSS ini secara jelas telah menghilangkan pentingnya substansi amdal. Amdal kemudian hanya ditempatkan sebagai dokumen administratif yang dipenuhi sesudah izin diterbitkan.
Hal ini, kata Raynaldo bertentangan dengan UU no.32 tahun 2008 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang menempatkan amdal sebagai syarat sebelum terbitnya izin lingkungan dan izin usaha.
“Seolah-olah asal tidak korupsi, asal ekonomi lancar boleh merusak lingkungan ‘kan bahaya. Logika seperti ini menurut saya sangat berbahaya untuk dibangun. Dan ini sebenarnya mengafirmasi, menunjukkan bahwa memang sejak awal sampai dengan lima tahun ke depan, memang Jokowi fokus untuk pembangunan ekonomi. Yang menjadi soal adalah sepertinya Jokowi membaca konstitusi itu setengah-setengah, tidak selesai. Jelas konstitusi kita ada dalam pasal 33 ayat 4 pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan. Sehingga tidak boleh ada penegasian terhadap aspek pelestarian lingkungan, apalagi penegasian ini hanya dilakukan melalui Peraturan Pemerintah, bayangkan dia melampaui UU hanya karena dia Presiden punya diskresi, memerintahkan semua Kementerian/Lembaga dan Pemda untuk mengikuti keinginannya melampaui UU Lingkungan dan UU lainnya. Ini sangat berbahaya,” ungkapnya dalam konferensi pers di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jakarta, Senin (12/8).
Ditambahkannya, sudah ada korban dari PP OSS ini, di mana sejumlah warga di Sumatera kehilangan haknya untuk mendapatkan ganti rugi akibat kerusakan lingkungan terkait penerbitan izin usaha. Hal tersebut karena dengan PP OSS, masyarakat tidak mengetahui dengan jelas siapa yang menerbitkan izin investasi itu.
“OSS ini siapa? Sekarang ‘kan katanya diambil oleh BKPM tapi, UU bilang penerbitan izin itu oleh menteri, gubernur, bupati, walikota. Ketika ada OSS semua diambil alih oleh OSS. Sehingga akan ada kekaburan. Jadi hak akses ke keadilan, akses untuk menggugat hilang, sehingga konsekuensinya kompensasi yang akan dia terima akan hilang,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Kepala Kampanye Walhi Edo Rakhman mengatakan sistem Amdal di Indonesia sebenarnya masih belum baik. Dengan diterbitkannya PP OSS tersebut, sistem amdal di tanah air menjadi semakin terbengkalai dan daftar kerusakan lingkungan semakin panjang.
“Aturan ini yang menjadi dasar terbitnya aturan pemerintah, lagi-lagi ini menjadi persoalan karena sistem peramdalan kita di Indonesia kemudian menjadi kacau. Menurut kami, orang bisa menganggapnya ada standar ganda. Karena diberikan peluang bisa mendapatkan izin usaha sementara, ya artinya ada komitmen dan tanpa komitmen. Nah, ini sebenarnya mengarah ke standar yang sebenarnya membuat kacau juga di Indonesia,” jelas Edo.
“Yang tadinya kita sudah patuh pada PP 27 2012 misalnya, tiba-tiba kemudian muncul PP OSS ini, terus kemudian didukung dengan Perpres 3 2016 yang kalau amdal kita prosesnya 120 hari. Perpres percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional menginstruksikan amdal itu harus selesai 60 hari. Tiba-tiba muncul PP OSS ini, kemudian membenarkan bisa mendapatkan izin usaha, kemudian yang lainnya bisa menyusul. Artinya itu dengan komitmen. Ini sebenarnya membuat semakin kacau di sistem peramdalan kita khususnya yang mengarah ke izin lingkungan, kalau kemudian ini terus dipertahankan kami beranggapan bahwa perhatian pemerintah untuk mengedepankan perlindungan lingkungan dan sosial dalam sebuah usaha itu masih sangat lemah, ” ungkap Edo.
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Perizinan Ngawur yang terdiri dari ICEL, WALHI Eknas, YLBHI, Sawit Watch, Walhi DKI Jakarta, Solidaritas Perempuan, KNTI Kaoem Telapak, JATAM Kaltim, BEM UI dan BEM FH UI meminta kepada Jokowi untuk, pertama, segera merevisi PP OSS terutama pada aspek perizinan yang berpotensi merusak lingkungan hidup. Kedua, segera memerintahkan seluruh Kementerian dan Lembaga untuk melaksanakan proses penerbitan izin berlandaskan UU yang berlaku sebelum PP OSS. Dan, ketiga, memulihkan hak-hak warga yang terampas akibat berlakunya PP OSS ini.
Jika ketiga poin tersebut tidak segera direspon oleh Jokowi, kata Raynaldo, maka koalisi akan menggunakan hak konstitusional untuk melakukan langkah hukum terhadap PP OSS. Langkah hukum ini diperlukan untuk mencegah dampak yang lebih luas dan serius dari berlakunya PP OSS.
Menyikapi permasalahan ini, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan pemerintah sudah pasti berkomitmen kuat untuk memberantas pencemaran lingkungan.
Terkait amdal yang hanya dijadikan syarat administrasi semata, Moeldoko memastikan bahwa kalau ada pelanggaran yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, sudah pasti akan ditindak dengan tegas.
“Semuanya itu dimulai dari persyaratan administrasi, tetapi penegakkan hukum di lapangan nanti dilakukan. Begitu ada penyimpangan terhadap itu disikat, seperti apa yang terjadi di beberapa tempat, tidak mengganggu, kalau betul-betul mengganggu, lingkungan menjadi terganggu, maka pemerintah akan bertindak. Soal revisi PP OSS, saya belum mendalami,” ungkap Moeldoko. [*]
SUmber Berita dan Foto: VoA Indonesia