Pojok6.id (Opini) – Terkait permasalahan kredit macet pada bank yang obyeknya dari uang negara maupun swasta, dan ketentuan mana yang harus dipergunakan jika terjadi masalah, yang utama dan terpenting adalah memaksimalkan penyelamatan keuangan negara.
Kredit macet bisa terjadi karena wanprestasi, penyalahgunaan wewenang maupun mal administrasi. Apabila macet karena wanprestasi, lebih melihat kepada proses pemenuhan terhadap perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, dengan konsekwensi pihak yang tidak memenuhi perjanjian harus mengganti seluruh kerugian termasuk keuntungan yang diharapkan, dengan cara mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk mendapatkan legalitas.
Perhitungan kerugian negara itu harus nyata dan pasti, maka lembaga auditor menghitung kerugian untuk kredit bisa dikembalikan, dengan tetap memperhatikan waktu perjanjian, sehingga kerugian keuangan negara bisa berkurang.
Sementara jika itu tindak pidana perbankan, lebih menekankan kepada ketaatan pihak internal bank sejak dari pemegang saham, komisaris, direksi, karyawan maupun pihak terafiliasi, karena tindakan kecurangan atau tidak sesuai prosedur dalam rangka menjalankan usaha, menjaga kerahasiaan bank serta menjaga dana nasabah agar tidak digelapkan atau hilang.
Lain halnya dengan korupsi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 atau pasal 3 Undang-undang (UU) No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, dan hal terpenting adanya means rea atau niat jahat sebagai inti dari kesalahan, kemudian diiringi dengan adanya actus reus berupa tindakan, maka niat jahat untuk dapat persetujuan kredit ini harus dilihat dengan teliti, apakah dari pemohon (debitur) atau yang memberikan persetujuan (direksi) berupa adanya tindakan jahat seperti pemalsuan, mark up, rekayasa dokumen atau jaminan persyaratan pembiayaan oleh calon debitur, disertai tindakan direksi yang tidak menjalankan prinsip kehati-hatian, dengan tidak mentaati perundang-undangan maupun ketentuan internal perseroan yang sudah jelas mengaturnya.
Adanya kesepakatan antara debitur maupun pemberi kredit (bank) tersebut sebenarnya belum masuk kategori korupsi dalam pasal 2 atau pasal 3 UU Tipikor, sepanjang belum terlihat kerugian keuangan negara, dan lebih cocok masuk tindak pidana perbankan, bila hanya sekadar pelanggaran administrasi/penyalahgunaan kewenangan.
Terkait kredit macet di PT. Bank SulutGo, penulis sangat menyayangkan jika kredit macet yang dapat diselesaikan dengan perdata seperti ulasan di atas, sudah di tarik ke ranah Tindak Pidana Korupsi oleh Kejaksaan Tinggi Gorontalo, yang melibatkan 2 orang pemberi kredit (direksi) dan 3 orang sebagai peminjam (debitor), yang disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2021 Jo. Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP.
Apabila kredit macet itu menjadi kasus pidana, akan membuat perbankan tidak lagi menyalurkan kredit, karena pihak perbankan BUMN/BUMD khawatir terjerat tindak pidana korupsi. Kondisi ini dapat membuat daya saing perbankan BUMN/BUMD menjadi lemah, karena perbankan swasta tidak terikat peraturan seperti yang terjadi pada perbankan BUMN/BUMD.
Sehingga jalan keluar adanya kredit macet masuk pelanggaran hukum yang wanprestasi, yang diatur dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau dikatakan korupsi, maka harus ada unsur kesengajaan, merugikan keuangan negara, melakukan perbuatan melawan hukum dan menguntungkan diri sendiri, yang berlaku kumulatif.
Unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor harus ditafsirkan bersifat kumulatif. Jika terjadi proses hukum pidana, maka lebih tepat penyidik mengacu berdasarkan tindak pidana perbankan, bukan korupsi, supaya tidak menimbulkan implikasi hukum dengan rusaknya Law Enforcement dan kepastian hukum.
Jika perjanjian dalam pemberian kredit antara perbankan dengan nasabah macet, maka perkara hukumnya masuk dalam ranah perdata. Sebab masalah di bank harus diselesaikan secara hukum korporasi, karena disitu telah ada kesepakatan, maka jika terjadi kredit macet, maka kedua belah pihak harus tunduk pada hukum perdata. Perjanjian kredit bank adalah kontrak yang objeknya kredit bank, jika terjadi perselisihan, maka diselesaikan dulu perdatanya, selanjutnya dioakukan RUPS meminta pertanggungjawaban direksi, bukan langsung ke ranah pidana.
Kredit macet merupakan bagian dari bisnis kredit itu sendiri, walaupun faktor penyebabnya dapat beranekaragam, baik dari sisi internal maupun eksternal bank. Dari sisi internal, antara lain verifikasi data keuangan dan jaminan yang sangat lemah, analisa kredit yang kurang akurat, disposisi kredit yang prematur, pemantauan kredit yang buruk, skema kredit yang tidak tepat. Sedangkan dari sisi eksternal termasuk dari debitur, antara lain dapat berupa kegagalan dalam pengelolaan manajemen dan usaha, penyalahgunaan tujuan kredit, karakter dan itikad yang buruk, pangsa pasar yang berubah, perubahan kondisi ekonomi dan moneter, perubahan ketentuan atau kebijakan pemerintah.
Biasanya perjanjian kredit bank dilakukan atas kesepakatan, berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata. Perjanjian menjadi masalah ketika debitur mengalami kendala dalam pembayaran cicilan, sehingga kredit macet. Pasal 1238 KUH Perdata telah mengatur tentang sistem penetapan debitur cidera janji (wanprestasi). Jika ini terjadi, maka yang dilakukan harus melalui tahapan, seperti somasi dan Pernyataan Cidera Janji dengan melakukan pengelolaan objek jaminan, dan berhak melakukan tindakan penyitaan, penambahan jaminan dan pelelangan. seperti yang tunduk dan diatur pada Pasal 1238 (tebtang lalai/wanprstasi) serta UU No. 10 Tahun 1998 (tentang perbankan). (**)