Pojok6.id (Yogyakarta) – Mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti sukses menyelesaikan masa jabatan selama dua periode. Sayang, di ujung jalan dia tergelincir dan bersiap masuk bui akibat suap izin pembangunan apartemen.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata memastikan status Haryadi dalam keterangan resmi kepada media, Jumat (3/6). Dia mengakui, sudah ada sejumlah laporan dari masyarakat sejak beberapa waktu lalu, terkait proses-proses perizinan yang bermasalah di Yogyakarta.
“Kita tahu bersama bahwa Yogya itu kota pariwisata, dan pembagunan hotel maupun apartemen di sana juga sangat marak, untuk menerima kunjungan wisata. Ini juga menjadi perhatian kami di KPK. Apakah dalam proses perizinan-perizinan sebelumnya juga ada deal-deal seperti ini,” kata Marwata.
Haryadi disangkakan menerima uang 27.258 dollar AS pada Kamis (2/6) dari PT Java Orient Property (JOP), anak usaha PT Summarecon Agung, pengembang real estate besar berbasis di Jakarta. Perusahaan tersebut berencana membangun apartemen di kawasan Malioboro yang merupakan kawasan cagar budaya.
Sesuai aturan, bangunan di kawasan itu maksimal hanya boleh setinggi 32 meter dengan kemiringan dari jalan 45 derajat. Rancangan yang disodorkan PT JOP setinggi 40 meter, dan Haryadi berperan menerbitkan surat rekomendasi agar proposal yang melanggar aturan itu lolos.
“Izin diberikan dengan melanggar Perda. Nanti kita cek, di sepanjang jalan Malioboro itu masuk kawasan cagar budaya. Di mana ada aturan-aturan pembatasan terkait dengan ketinggian maupun sudut kemiringan dari ruas jalan,” tambah Marwata.
KPK juga membuka kemungkinan, kasus yang menjerat Haryadi tidak hanya satu kasus saat ini.
“Nanti bisa kita cek di Yogya itu, kalau misalnya ada bangunan hotel yang didirikan pada periode yang bersangkutan menjabat walikota ternyata melanggar aturan, ya nanti kita cek. Apakah ada sesuatu,” tandasnya.
KPK juga memiliki dugaan awal, bahwa Haryadi diduga menerima sejumlah uang dari penerbitan izin IMB lainnya. Menurut Marwata, penyidik akan melakukan pendalaman lebih jauh.
Haryadi diamankan KPK bersama sembilan orang lainnya pada Kamis (2/6). Dari sepuluh orang yang diamankan KPK, enam berasal dari pihak Pemkot Yogyakarta dan empat dari pihak swasta. Empat orang, masing-masing tiga orang dari Pemkot Yogyakarta dan satu pengusaha dinyatakan sebagai tersangka. Pihak pemberi suap, yaitu Oon Nusihono, Vice President Real Estate PT Summarecon Agung, sedang penerima selain Haryadi adalah Nurwidhihartana (Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemkot Yogyakarta) dan Triyanto Budi Yuwono (sekretaris pribadi Haryadi).
KPK juga mencatat ada pemberian uang minimal Rp50 juta, dalam setiap proses pengurusan izin apartemen oleh PT JOP. Jumlah uang total yang diterima pihak walikota selama proses ini masih diselidiki.
Pecah Telur KPK di Yogya
Indonesian Court Monitoring (ICM) Yogyakarta mengapreasiasi OTT yang dilakukan KPK kali ini. Direktur ICM, Tri Wahyu KH menyebut, setelah ditunggu cukup lama, akhirnya pecah telur penindakan KPK di Yogyakarta. Kasus Haryadi ini memang merupakan OTT pertama di daerah istimewa tersebut.
“Dulu ICM, bersama gerakan antikorupsi Yogya, pada 19 September 2018 bikin aksi, termasuk mengirim peta DI Yogyakarta ke KPK agar ditempel di ruang deputi penindakan KPK. Agar KPK tidak lupa bahwa DI Yogyakarta ini bagian dari Indonesia, dengan mengungkapkan kasus korupsi yang terjadi,” kata Tri Wahyu, Jumat (3/6).
Agar membawa manfaat luas, OTT kepala daerah pertama di Yogyakarta ini diharapkan juga menjadi momentum untuk bersih-bersih.
“Pemerintah kota Yogya selama ini sering melansir ada sekian penghargaan yang didapat, tetapi dari OTT kasus izin apartemen di Malioboro ini membuktikan bahwa mulai dari wali kota, kepala dinas perizinan, kepala dinas PUPR, ini terlibat. Artinya ini satu korupsi sistemik yang terjadi di Pemkot Yogya, dan “busuknya” itu dari kepala,” lanjut Tri Wahyu.
Sedangkan bagi Gubernur DI Yogyakarta, kasus ini diharapkan menjadi pesan peningkatan evaluasi dan monitoring ke bawah.
Tri Wahyu mengingatkan, nama Haryadi sebenarnya pernah disebut-sebut dalam kasus korupsi proyek saluran air hujan bernilai miliaran di Yogyakarta. Beberapa saksi menyebut di persidangan, ada kaitan peran wali kota dalam izin-izin terkait hotel.
Di sisi lain, ICM juga mengajak warga kota Yogya untuk tidak lagi sekedar nrimo, atau menerima apa yang dilakukan pemimpinnya. Warga Yogya harus berdaya dan aktif mengawasi jalannya pemerintahan untuk menekan potensi korupsi.
“Proses penyerahan uang sebagai barang bukti terjadi di rumah dinas walikota. Ini menjadi satu potret nyata, bahwa transaksinya menggambarkan sempurna sekali korupsinya,” tandas Tri Wahyu.
ICM juga mengingatkan, bahwa KPK masih memiliki tugas yang belum selesai, yaitu kasus korupsi pembangunan stadion Mandalakrida di Yogyakarta. Proses penyidikan seolah jalan di tempat dalam kasus ini.
Mengatur Antrean Perizinan
Seperti disampaikan Tri Wahyu di atas, kaitan nama Haryadi dengan perizinan di kota Yogyakarta sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Pada 2019, KPK menangkap dua jaksa terkait permainan proyek saluran air hujan senilai lebih Rp10 miliar di kota Yogyakarta. Haryadi menjadi salah satu saksi dalam pusaran kasus itu, karena namanya beredar di antara para terdakwa.
Pada sidang 26 Februari 2020, jaksa KPK memutar rekaman yang berisi pembicaraan telepon antara Haryadi, selaku walikota saat itu dengan Kepala Dinas PUPKP Kota Yogyakarta ketika itu, Agus Tri Haryono.
Dalam rekaman hasil sadapan KPK itu, Haryadi menelepon Agus Tri Haryono untuk memindah antrian perizinan salah satu hotel agar lebih cepat diselesaikan. Dalam sidang sebelumnya, saksi berbeda juga menyinggung upaya serupa. Namun, sewajarnya pihak yang dituduh, baik dalam sidang maupun kepada media yang menemuinya seusai sidang di pengadilan, Haryadi menolak semua tuduhan. Dia menilai, langkah itu hanya koordinasi.
“Kalau ada koordinasi, sehari kan rampung,” kata Haryadi ketika itu.
Dia mengakui, izin beberapa hotel tidak bergerak di meja sejumlah dinas, seperti Dinas Perizinan, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang, maupun Dinas PUPKP sendiri. Sebagai wali kota yang menjadi atasan para kepala dinas, Haryadi merasa harus berperan melakukan koordinasi karena keluhan para pengusaha yang izinnya mandek. [voa]