Pojok6.id (Opini) – Penyalahgunaan kekuasaan/otoriter yang muncul bukanlah disebabkan oleh isi UUD 1945 melainkan oleh pemegang kekuasaan yang telah membangun kekuasaan politik secara tidak demokratis, tidak amanah dan sewenang-wenang bisa berpengaruh terhadap kehidupan negara dan rakyatnya.
Contoh Kekuasaan tidak terbatas ini dialami pada masa 2 (dua) Presiden yang menggunakan UUD 1945 yang belum di amandemen, seperti era pak Soekarno mampu mempertahankan selama 22 tahun (18 Agustus 1945 – 12 Maret 1967), dan mampu mengikrarkan sebagai Presiden seumur hidup melalui TAP MPR No.III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia.
Pada era pak Soeharto mampu bertahan selama 32 tahun (12 Maret 1967 – 21 Mei 1998), dalam kekuasaannya tidak pernah ada perubahan Konstitusi UUD 1945, karena baginya itu merupakan “Zona Nyaman” bagi kekuasaannya. Ini akibat dari Pasal 7 UUD 1945 yang tidak menjelaskan batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Setelah adanya amandemen maka Pasal 7 tersebut berubah dengan bunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan, sehingga dibatasi hanya dua kali masa jabatan. Dari pemikiran di atas, di-amandemen-lah Pasal 7, menjadi A, B dan C. Jangan ini terjadi lagi pada periode sekarang untuk ke 3, 4 dan seterusnya hanya karena kepentingan segelintir kelompok tertentu, akibatnya rakyat yang menderita.
Pada Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan yang tercela lainnya.
Apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dapat mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) RI, jika mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna.
Dan jika itu terbukti menurut UUD 1945, menurut Pasal 7A UUD 1945, maka DPR dapat mengajukan tuntutan pemakzulan (impeachment) tersebut kepada MK, setelah menjalankan persidangan dalam amar putusan MK dapat menyatakan membenarkan pendapat DPR dan MPR-RI.
Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan yag tercela lainnya, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR, dan MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul tersebut.
Keputusan MPR RI harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR RI (Pasal B). Sedangkan Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat RI (pasal 7C).
Otoriter berpotensi lahirnya penguasa yang merugikan kedaulatan rakyat dan kehidupan demokrasi. Disini bisa digambarkan adanya kasus yang terjadi dan dirasakan rakyat selama ini, seperti pembiaran aparat hukum yang menjalankan tugasnya melakukan kekerasan secara brutal yang menimbulkan banyak korban luka parah dan bahkan ada yang sampai meninggal dunia.
Contoh nyata itu pada saat mengatasi unjuk rasa usai Pilpres pada Mei 2019, unjuk rasa menolak RUU KPK, unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja (Omnibus law). Padahal unjuk rasa itu dilindungi konstitusi, aparat seharusnya melindungi dan mengayomi. Korban kekerasan yang begitu banyak tersebut tidak pernah terjadi pada Presiden sebelumnya sejak reformasi 23 tahun ini, aparat cenderung refresif terhadap kelompok Islam dan para oposisi yang kritis kepada penguasa, dan ini memberikan image negatif pada institusi Polri yang digunakan.
Penguasa juga tidak mampu menyatukan rakyat setelah dua kali pilpres, seperti pembiaraan buzzer-buzzer / influencer yang cenderung menyerang tokoh-tokoh yang kritis memberikan masukan untuk pemerintahan, dan kelompok tertentu tanpa ada tindakan hukum kepada mereka, yang berdampak pada terbelahnya masyarakat (pro kontra). Padahal ada satu tujuan yang harus ditempuh, tetapi rakyat tidak bersatu padu melawan krisis ekonomi yang dijanjikan bisa maju/meroket.
Dilain pihak penguasa (pemerintah) belum mampu menekan dan meyelamatkan rakyat dari pandemi Covid-19, mahalnya dan keharusan swab PCR untuk bepergian sejak awal muncul Covid 19 sampai sekarang grafik korban Covid yang naik turun, masyarakat hampir habis energi menghadapi adanya pembatasan dari PSBB lanjut ke PPKM, sehingga pasrah pada kondisi, yang bertahan hidup bisa hidup dan yang lemah mati, dan ada sebagian masyarakat yang masih di kejar-kejar untuk vaksin karena pemerintah sudah membeli vaksin secara besar-besaran dengan uang negara yang besar.
Bahwa kemiskinan dan pengangguran makin meningkat karena adanya beban berbagai kenaikan, mulai dari BPJS, listrik, sembako, tol dan pajak.
Dilain pihak banyak masuknya TKA dari China masih berjalan yang mengisi proyek-proyek besar dan pabrik-pabrik di daerah yang tersebar di seantero negeri tanpa ada regulasi yang mengatasinya untuk diisi oleh WNI yang terampil dan pengangguran.
Sehingga Pemerintah tidak mampu memberi kesejahteraan kepada rakyat sendiri sesuai pembukaan UUD 45. Pemerintah masih ngotot dan gengsinya dengan biaya tinggi membangun Rel kreta cepat Jakarta Bandung, memindahkan ibu kota tanpa mendengar suara masyarakat yang punya kompeten di bidang itu, dan adanya pensmbahan hutang yang beban rakyat.
Masih adanya lingkaran istana/menteri yang melakukan korupsi merupakan aib yang luar biasa, bagaimanapun mereka adalah bawahan dan diangkat Presiden, yang berarti bukan partainya yang bertanggungjawab, tetapi atasan langsung karena dalam tugas membawa visi Presiden dan selalu diawasi kinerjanya oleh Presiden.
Membiarkan dan cenderung membentuk UU yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, seperti UU No. 2 Tahun 2020 tentang Covid-19, dan UU Cipta Kerja yang sangat liberal dan kapitalisme, serta RUU HIP yang telah diganti dengan RUU BPIP yang masuk dalam prolegnas, padahal secara masif ditolak oleh masyarakat dan kedua RUU tersebut bertujuan memperjuangkan Pancasila lahir 1 Juni 1945 yang bisa merubah Pancasila menjadi Trisila dan Eka-sila, yang menjadi pintu masuk bagi paham neo komunisme yang jelas-jelas dilarang oleh konstitusi.
Catatan berikutnya yang belum ada hukuman secara transparan terhadap pembunuhan 6 laskar FPI merupakan pelanggaran kemanusiaan, sementara korban bukanlah penjahat korupsi ataupun teroris, karena Polri yang bertanggungjawab berada langsung di bawah Presiden.
Adanya diskriminasi putusan Pengadilan Jakarta Timur (kewenangan mengadili) memberi sanksi pidana 4 (empat) tahun terhadap Habib Rizieq dalam pelanggaran prokes dan berita bohong saat di rawat di RS Ummi Bogor, padahal ini merupakan pelanggaran dengan sanksi denda yang telah dibayar Rp. 50 juta.
Demikian juga adanya ketimpangan dalam penguasaan sektor ekonomi kepada WNI/masyarakat menengah, banyaknya tanah-tanah rakyat yang tergusur karena Mafia Tanah yang dominan dalam menguasai regulasi kepemilikan.
Dari akumulasi peristiwa-peristiwa tersebut di atas terekam dalam pikiran masyarakat umum, baik itu dilihat, di dengar dan di baca di media-media yang ada, perlu di jawab dan diselesaikan dengan baik oleh penguasa (pemerintah). Jika masalah tersebut tidak ditangani dengan bijak dan baik, maka terdapat kemungkinan pelanggaran Amanah dan Sumpah Jabatan Presiden bisa dievaluasi oleh DPR RI, ada tidak pelanggaran terhadap Pancasila dan UUD 1945 ?, sesuai Pasal 7A dan B dalam UUD 1945. Ha ini perlu dikaji, jangan percaya terhadap puja-puji orang sekeliling termasuk buzzer dan survey yang dibiayai oleh para pendukung.
Mereka hanya sekadar mempertahankan jabatan dan memelihara pundi-pundi ekonominya, manakala posisi Presiden sudah terjepit semua akan berkelit dan balik badan. Pelajaran sejarah yang berharga untuk kita bangsa Indonesia, ketika di akhir pemerintahan era Presiden pak Karno dan era pak Harto, perlu menjadi pelajaran yang harus dipikir, di kaji secara jujur, sebelum terlambat menjadi buruk.
Pengalaman ini sangat berharga yang terukir dan terpatri dalam hati dan pikiran bangsa Indonesia, jika masyarakat (kaum intelektual, kaum agamis, kaum mahasiswa dan rakyat biasa) sudah bersuara dan tidak percaya terhadap penguasa (pemerintah), itu tanda telah mencapai puncaknya, maka penguasa tersebut tidak efektif dalam menjalankan roda pemerintahan yang baik. (**)