Kondisi Hukum Kita Antara Ada dan Tiada

Hukum
Dahlan Pido, SH., MH. Praktisi Hukum/Advokat (kedua dari kiri). Foto: istimewa

Pojok6.id ()Hukum seharusnya menjadi alat pembaharuan dan meindungi seluruh warga masyarakat, jangan sampai berubah menjadi mesin pembunuh masyarakat karena di dorong oleh penegakkan yang diskriminasi dan tidak adil. Adanya hukum yang dapat dibeli seperti barang dagangan, membuat aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara sungguh-sungguh, menyeluruh dan adil.

Jelas bahwa Indonesia adalah negara hukum yang mengutamakan landasan hukum dalam semua aktivitasnya, seperti dinyatakan pada Undang-Undang Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Kegagalan dalam mewujudkan keadilan melalui hukum menjadi salah satu masalah yang harus ditangani serius oleh pemerintah, agar situasi dan kondisi ini tidak berlarut-larut, dan dapat diatasi supaya tidak hanya berat sebelah untuk menghukum rakyatnya, hal ini terlihat dan sangat menonjol dalam kasus-kasus lewat kritikan.

Kritik sering dilontarkan berkaitan dengan praktek penegakan hukum kita, kebanyakan masyarakat melihat bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, karena yang mempunyai kekuasaan, jabatan, nama besar dan yang memiliki uang banyak pasti aman dari penegakkan hukum walau aturan itu dilanggar. Praktek penyelewengan hukum ini melahirkan mafia hukum yang diskriminatif, atau rekayasa waktu proses peradilan, merupakan realitas yang mudah ditemui dalam penegakan hukum di negeri kita.

Read More
banner 300x250

Contohnya Ahmad Dhani berpendapat di akun twitternya yang menjadi kasus yang menjeratnya di Pasal ujaran kebecian yang di vonis 1 tahun 6 bulan penjara. Kemudian komedian Bintang Emon mengkritisi kasus Novel Baswedan di videonya, ia diserang dan difitnah untuk supaya seseorang jangan kritis. Sedangkan hal yang berbeda dengan Victor Laiskodat, Ade Armando, Abu janda dan lain-lain yang melakukan ujaran kebencian namun tak satupun yang dianggap melanggar hukum. Lalu timbul pertanyaan bagaimana cara mengkritik versi yang benar ?

Contoh lain yang membuat miris, hukuman yang terjadi pada nenek Asyani, berumur senja didakwa mencuri kayu jati, dikenakan Pasal 12 juncto Pasal 83 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman 5 tahun penjara. Adapula seorang kakek Samirin berumur 68 tahun, yang memungut sisa getah pohon karet di vonis hukuman penjara selama 2 bulan 4 hari oleh Pengadilan Simalungun. Mereka dikenakan hukuman yang tidak sesuai, padahal mereka sudah berumur senja, dan bukan untuk memperkaya diri, seperti apa yang dilakukan oleh koruptor uang negara milyaran, yang sudah mendaapat fasilitas negara namun masih mengambil yang bukan haknya, lantas di mana letak dan rasa perikemanusiaan ?

Demikian juga pada pelaksanaan UU yang tidak maksimal, itu akan berdampak terhadap kredibilitas para pembentuk UU (Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI), sehingga seluruh elemen bangsa terkena dampaknya, seperti:

1. Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja

Hal ini pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi di Forum Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) tanggal 19 Nopember 2020, UU ini menurutnya bertujuan menciptakan iklim berusaha dan investasi yang berkualitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi. UU Omnibus Law ini hasil dari penyederhanaan regulasi yang tumpeng tindih dari 79 UU menjadi 1 UU.

Awal lahirnya UU ini banyak penolakan dari warga masyarakat, terutama kaum buruh/pekerja Indonesia yang mengkhawatirkan pengaturan tentang upah minimum dan besaran pesangon mereka menjadi masalah. Secara umum pelaksanaan UU ini diharapkan untuk menumbuhkan iklim usaha dan berinvestasi, namun harapan itu belum terlihat bergerak maju.

2. Undang-undang No. 2 Tahun 2020

UU ini melalui persetujuan DPR dalam proses Perpu 1 Tahun 2020 menjadi UU 2 Tahun 2020. Lahirnya UU ini juga menjadi kontroversi di masyarakat, seperti yang terbaca pada Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, dan 3 UU No. 2 Tahun 2020 karena dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanaan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat tanpa perlu mengeluarkan Perpu (seperti munculnya wabah Covid-19 ini), sehingga keberadaan Pasal-pasal di UU No. 2 Tahun 2020 tidak mendesak untuk dikeluarkan.

Jika Pemerintah dan DPR RI mau, bisa saja merevisi dalam APBN Perubahan untuk anggaran Covid-19, bukan Covid yang menjadi alasan kekosongan hukum. Menjadi masalah dan adanya diskriminasi adalah kekebalan hukum bagi pejabat yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2020 ini, dalam ayat (1) menyebutkan, memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi karena biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19, bukan merupakan kerugian negara. Selain itu, ketentuan ini memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan.

Alasan pandemi telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara. Namun alasan yang menyalahkan Covid 19 sebagai pemicunya juga terlalu berlebihan, Karena kondisi pertumbuhan ekonomi melambat itu sejak tahun-tahun sebelumnya juga tidaklah menggembirakan untuk melakukan penyelamatan perekonomian nasional.

Akhir tahun 2017 Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu menyatakan, targer pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini sebesar 5,2 persen tidak akan tercapai. Pernyataan itu disampaikan Wapres selepas menggelar breakfast meeting di kediaman dinasnya, Menteng, Jakarta, media Rabu tanggal 27 Desember 2017. Menurut Wapres, ada sejumlah faktor yang menyebabkan ekonomi gagal tumbuh sebagaimana proyeksi pemerintah, faktor pertama berkaitan erat dengan pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan. Pekerjaan infrastruktur diharapkan ada multiplier effect setelah pembangunan selesai, tetapi ini tidak besar.

Kemudian menurut Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan, pertumbuhan ekonomi kuartal IV di tahun 2019 di bawah 5%, ini menggambarkan semakin beratnya permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia. Hadirnya kabinet baru yang hingga akhir 2019, telah bekerja dua bulan lebih, ternyata belum mampu membuat berbagai gebrakan yang dapat menyulut optimisme perekonomian, sehingga realisasi pertumbuhan bisa lebih tinggi, ujarnya di Jakarta, pada hari Kamis tanggal 6 Februari 2020.

Bahwa Undang-undang yang merupakan peraturan yg dibuat negara bersifat mengikat, diadakan dan dipelihara negara, dan hukum berisi perintah, larangan, dan sanksi, masih belum menjawab perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan hukum, sehingga perlu dilakukan perubahan yang mendasar agar hukum itu efektif, efisien, dan komprehensif dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan berdaulat. (**)

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60