WASHINGTON, D.C. – Belum lama ini akun resmi Instagram mengunggah foto seorang seniman asal Cilegon, Imelda Adams, yang sedang memegang lukisan hasil karyanya.
Foto yang diunggah langsung oleh akun resmi Instagram ini telah disukai oleh ribuan orang dan hingga artikel ini dirilis, telah disukai lebih dari 546 ribu orang dan mengundang sekitar 8.700 komentar.
Merupakan sebuah kejutan bagi Imelda, ketika pada suatu hari Instagram mengirim pesan dan menawarkan untuk menampilkan hasil karyanya.
“Aku kayak masih nggak percaya, karena aku orang awam gitu ya. Tahunya kan yang di feature di Instagram itu cuman orang-orang yang punya follower banyak, terus mungkin kualitas foto yang bagus dan segama macam,” ujar seniman kelahiran tahun 1997 ini.
Untuk sebuah foto bisa diunggah di akun resmi Instagram ternyata tidak mudah dan harus melalui sebuah proses yang cukup panjang, sekitar satu bulan bagi Imelda.
“Iya, awalnya waktu itu aku sempat di kontak langsung mungkin (oleh) karyawan dari kantor Instagram Asia Pasifik. Waktu itu sempat e-mail aku, terus nawarin aku untuk mau atau nggak gitu kontenku di feature di Instagram,” jelas pelukis yang juga hobi bermusik ini.
Setelah dikontak langsung oleh kantor Instagram Asia Pasifik, proses berlanjut ke sesi wawancara dengan pihak Instagram di Amerika Serikat. Foto yang ditampilkan pun harus memenuhi beberapa persyaratan khusus, mulai dari tema yang dipilih dan ukuran.
Usai melakukan diskusi panjang, Imelda lalu langsung mengambil kanvas dan membuat lukisan dengan tema “Month of Good” atau bulan kebaikan, mengingat pada waktu itu fokus yang ingin diangkat adalah bulan Ramadan.
Lewat karyanya ini, Imelda juga berusaha menuangkan kehidupannya di masa karantina wilayah, terkait pandemi COVID-19. Bagi Imelda, hasil karyanya merupakan curahan hati yang ia tuangkan ke kanvas.
“Aku pengen karyaku itu ya, menyatu dengan aku,” jelasnya.
Hasil karya yang akhirnya menjadi sorotan di Instagram ini berhasil ia selesaikan hanya dalam waktu dua hari.
“Sebenarnya itu gambar aku. Aku yang lagi ngelukis, kemudian di dalam lukisannya itu ada lukisan aku, yang di lukisan itu ada gambar keluarga yang lagi duduk di meja itu. Itu sebenarnya menggambarkan aku, yang sebenarnya mengambil hikmah dari adanya lockdown ini, dimana kita bisa saling lebih dekat lagi dengan keluarga gitu,” paparnya.
Dalam lukisannya tertulis kata “charity” alias “amal.” Kata yang penuh arti tersebut ia pilih untuk menggambarkan kepedulian dari masyarakat terhadap musibah COVID-19 ini.
“Ketika ada musibah ini, teman-teman aku terutama juga banyak yang mengadakan charity gitu (untuk) teman-teman yang terkena musibah COVID-19,” jelasnya.
Instagram pun menulis:
“Bagi seniman Indonesia, Imelda Adams, hasil karyanya adalah kesempatan untuk mengekspresikan diri dan berbagi inspirasi untuk melakukan hal positif.”
Awalnya, Instagram hanya meminta Imelda untuk menampilkan lukisannya saja, tetapi pada akhirnya mereka meminta agar Imelda “in frame di dalamnya.”
“Mungkin Instagram juga lihat dari Instagram aku, konten Instagram aku tuh di dalamnya mungkin like yang terbanyak tuh biasanya ada akunya gitu. Foto-foto yang ada akunya itu lebih banyak di-like sama audience di Instagram,” kata Imelda.
Benar saja! Jumlah pengikut Imelda yang sebelumnya adalah sekitar 4,000 orang, langsung melonjak pesat menjadi lebih dari 15,700 pengikut hanya dalam waktu lima hari.
“Aku senang banget sih. Terus aku jadi lebih dikenal juga sama teman-teman di luar sana yang bahkan aku nggak kenal gitu,” ujar Imelda.
Akun Instagram Imelda langsung dibanjiri komentar dan pujian. Di antara mereka bahkan menyatakan rasa bangga melihat ada sosok seniman Indonesia yang ikut diapresiasi oleh Instagram dan para pengguna Instagram di seluruh dunia.
Keraguan dan Putus Asa Melanda, Imelda: “Perjalanan setiap orang kan beda-beda”
Kecintaan Imelda terhadap dunia seni lukis memang sudah tumbuh sejak kecil. Ia mulai serius mendalaminya ketika duduk di bangku kelas tiga SMP, dengan mengikuti kursus privat selama tiga bulan dan mempelajari lebih lanjut secara otodidak.
“Aku lebih nyaman-nya lukis tangan yang manual. Kalau kebutuhan digital itu lebih ke aku misalnya mau mengaplikasikan gambarku ke baju atau apa gitu ya yang desain-desain gitu. Jadi ya mau enggak mau aku harus bisa digital juga,” kata Imelda.
Lukisan-lukisan Imelda dijual dengan harga 5-20 juta rupiah, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan penggarapannya. Target pembelinya kebanyakan adalah anak-anak muda.
Koleksi lukisannya ia beri nama “Gacon,” yang dalam bahasa Sunda, artinya andalan atau yang diandalkan. Gacon adalah sebutan yang dilontarkan oleh teman-temannya, setiap kali melihat karakter yang ditampilkan oleh Imelda di karya-karyanya.
“Ada gambar orang yang matanya kecil gitu, terus rambutnya diikat ke atas dan itu entah kenapa orang-orang bilang, kalau itu karakternya aku banget gitu,” jelasnya.
Yang juga menjadi khas dari hasil karyanya adalah baju garis-garis yang selalu dipakai oleh karakter-karakter yang ia lukis.
“Aku suka banget dekorasi garis-garis. Aku suka banget pakai pola garis-garis dan memang kebetulan sih aku juga suka pakai baju panjang yang polanya garis-garis juga gitu. jadi bener-bener deket sama aku gitu,” kata Imelda.
Merupakan sebuah kepuasan bagi Imelda ketika mengetahui bahwa karya-karyanya ini ternyata juga mengena di kehidupan banyak orang.
“Sebenarnya tujuan aku sendiri melukis kan hanya mengeluarkan unek-unek gitu kan, tapi ternyata itu bisa relate juga gitu dengan orang lain,” jelas Imelda.
Saat kuliah, Imelda memutuskan untuk mengambil jurusan yang jauh berbeda dari dunia yang ia cintai, yaitu marketing komunikasi di Universitas Sultan Agung Tirtayasa di Serang.
“Awalnya aku masih bingung, jadi setelah lulus kuliah aku mau ngapain, karena kebetulan aku lulus dengan gelar marketing komunikasi di mana yang ini sangat berbeda sekali,” cerita Imelda yang baru saja lulus ini.
Meskipun sudah sering melakukan pameran dan mengajar di galeri, awalnya orang tua Imelda sempat ragu akan keputusannya untuk mendalami dunia seni lukis, mengingat stigma yang ada di masyarakat mengenai profesi seniman yang kerap dianggap tidak menghasilkan.
“Aku sempet ya putus asa juga gitu, sempat kepikiran untuk berhenti, karena ya stigma itu tadi. Itu yang bikin aku jadi insecure ya, mungkin ngelihat teman-temanku yang sudah lebih dulu sukses dalam definisiku, tapi kok aku masih gini-gini aja gitu. Tapi enggak juga gitu. Perjalanan setiap orang kan beda-beda,” jelasnya.
Namun, Imelda tetap teguh pada pendiriannya dalam menekuni dunia ini. Menurutnya, di zaman sekarang, “apa pun bisa menjadi pekerjaan.” Ditambah lagi, ilmu marketing komunikasi yang ia dalami saat kuliah, ternyata juga bermanfaat untuk karirnya di dunia seni rupa ini, khususnya di saat menjual produk lukisannya.
“Definisi pekerjaan menurut orang tua zaman dulu itu kan (bekerja dari pukul) nine to five (red: 9-5) gitu ya, tapi kalau aku sendiri sih nggak mau ambil pusing itu. Orang tua juga sekarang sudah mendukung, karena mereka sudah melihat hasilnya gitu kan. Aku bisa membuktikan itu pada akhirnya,” tegasnya.
Kepada teman-teman yang memiliki keraguan yang pernah ia rasakan, Imelda berpesan untuk mengubah stigma yang ada.
“Mereka takut akan stigma bahwa seniman itu akan miskin,” katanya.
“Tapi kan sebenarnya enggak. Itu kan hanya sejarah pada zaman dulu. Sementara sekarang kan juga zaman sudah berubah, dimana media sosial itu sangat membantu banget untuk mempromosikan karya,” tambahnya.
Selain kini tengah menggarap lukisan yang mengambil tema pandemi COVID-19, untuk ke depannya, Imelda berencana akan terus melakukan dunia seni yang ia cintai, dengan berkarya, berpameran, dan melakukan kegiatan kesenian lainnya.
“Ini tuh kesukaan aku. Jadi susah banget untuk lepas,” pungkasnya. (**)
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia