JAKARTA – Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2018 tentang jaminan kesehatan resmi menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja sebesar 100 persen.
Dengan kenaikkan tersebut, mantan Walikota Solo ini pun meminta masyarakat untuk memahami, bahwa langkah tersebut bukan untuk memberatkan masyarakat miskin. Pemerintah, kata Jokowi sudah menggelontorkan anggaran puluhan triliun rupiah demi membantu masyarakat kurang mampu untuk berobat.
“Padahal supaya kita semuanya tahu, tahun 2019 kita telah menggratiskan 96 juta rakyat kita yang pergi ke Rumah Sakit (RS) yang ada di daerah. 96 juta kita gratiskan lewat penerima bantuan iuran (PBI). Jadi anggaran total yang kita subsidikan ke sana Rp 41 triliun. Rakyat harus mengerti ini. Tahun 2020 subsidi yang kita berikan pada BPJS sudah Rp 48,8 triliun ini angka yang besar sekali. Jangan sampai kesannya kita ini (memberatkan). Kita sudah subsidi dari APBN gede banget,” ungkap Jokowi dalam Rapat Terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (31/10).
Maka dari itu, ia berharap kerja sama dari seluruh pihak untuk mensosialisasikan kenaikan tarif iuran BPJS kesehatan tersebut dengan baik kepada masyarakat. Jokowi tidak ingin, sampai masalah kenaikan ini menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat.
“Kalau cara kita menerangkan tidak clear, tidak jelas masyarakat menjadi dibacanya kelihatannya kita ini ingin memberatkan beban yang lebih banyak pada rakyat. Tapi kalau cara kita menerangkan tidak hati-hati dipikir kita ini memberikan beban yang berat kepada masyarakat miskin padahal sekali lagi yang digratiskan sudah 96 juta jiwa lewat tadi subsidi yang kita berikan,” tambahnya.
Usai rapat terbatas, Menteri Kesehatan Dr Terawan mengatakan pihaknya akan melakukan sosialisasi dengan baik ke seluruh masyarakat sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Namun ketika ditanyakan, strategi khusus apa yang akan dilakukannya, mantan Kepala RSPAD Gatot Subroto ini, tidak menjelaskan dengan rinci. Ia hanya menekankan, bahwa negara sudah mengeluarkan uang yang sangat banyak sekali untuk mensubsidi masyarakat miskin. Sekali lagi, masyarakat yang mampu diminta untuk menerima kenaikkan tarif iuran tersebut dan taat membayar.
“Ya nanti komunikasinya yang jelas adalah bahwa pemerintah sudah berbuat yang banyak, berbuat yang besar untuk masyarakat, intinya pemerintah sudah menggelontorkan anggaran yang besar sekali untuk membantu program ini agar berjalan dengan baik. Diperlukan keikutsertaan masyarakat yang sudah dinyatakan tidak perlu bantuan,” ujarnya.
Dr Terawan pun nampaknya belum memiliki rencana untuk melakukan dialog dengan kelompok masyarakat yang menolak kenaikan iuran BPJS kesehatan tersebut, salah satunya kaum buruh.
“Yang menolak itu sebenarnya ikut PBI atau PBPU-nya? Harus dilihat, dia membela orang kecil atau membela orang mampu? Kalau membela orang kecil, pemerintah itu sudah bela orang kecil, karena itu disebut PBPU dia, orang yang memang sudah mampu, kalau tidak mampu tarik saja ke PBI,” tandasnya.
Sementara itu, kaum buruh tetap menolak kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan ini yang sudah diteken oleh Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019. Presiden Kofederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam siaran persnya kepada VOA mengatakan kenaikan tersebut akan semakin menurunkan daya beli masyarakat.
Menurutnya, pendapatan yang diterima masyarakat di tiap Kabupaten/Kota berbeda beda (termasuk nilai UMP/UMK berbeda). Hal ini mengakibatkan daya beli terhadap kenaikan iuran tersebut juga berbeda-beda.
“Misal iuran BPJS Kesehatan kelas 3 menjadi Rp 42 ribu dikalikan lima orang anggota keluarga; suami, istri, dan tiga anak. Maka pengeluaran bayar iuran setiap keluarga di seluruh Indonesia adalah sama yaitu Rp 210 ribu,” kata Iqbal.
Ia menambahkan walaupun buruh yang tinggal di Jakarta sudah berpenghasilan sebesar upah minimum Rp 3,9 juta, hal ini tetap saja memberatkan dan akan menurunkan daya beli. Apalagi kenaikan UMP yang kecil.
Iqbal mencontohkan, bagi masyarakat di daerah dengan upah minimum kecil seperti Sragen, Jogja, Boyolali, Halmahera, Pacitan, Banjaenegara, Subang, Papua, Mamuju, dan sebagian besar wilayah Indonesia yang upah minimum dan penghasilan masyarakatnya di bawah Rp 2 juta, akan semakin memberatkan. Bahkan menurutnya, kenaikan ini bisa menurunkan daya beli mereka sebesar 30 persen.
Iqbal menegaskan, akan ada gelombang demonstrasi besar dari masyarakat dan buruh untuk menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut, khususnya kelas 3.
“Solusi defisit dana BPJS Kesehatan seharusnya bukan menaikan iuran, tetapi dengan cara menaikkan jumlah peserta pekerja formal. Karena iuran mereka setiap tahun otomatis naik. Saat ini jumlah pekerja formal yang menjadi peserta BPJS Kesehatan hanya 30 persen dari total pekerja formal,” katanya. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia