VIRGINIA – Kegiatan tidur di tempat terbuka ini disebut Homeless for a Night Campout. Diselenggarakan pada akhir pekan ketiga November lalu, di tengah musim gugur. Gereja Katolik Gembala yang Baik (good shepherd) menyebutnya sebagai kegiatan untuk membangkitkan kesadaran generasi muda akan nasib tunawisma.
Menurut Departemen Perumahan dan Pembangunan Kota AS, sekitar 553 ribu orang terpaksa menjalani hidup sebagai tuna wisma di AS pada tahun lalu. Di Virginia sendiri, angka itu mencapai 5.975.
Acara ini digelar setiap tahun, dan tahun ini memasuki tahun ketujuh. Menurut pendeta Tom Ferguson, ketua penyelengaranya, pada prinsipnya mereka berkemah di udara terbuka. Namun, Ferguson menolak menyebutnya berkemah.
“Saya mungkin seharusnya tidak menyebut ini kegiatan berkemah. Kalau berkemah, kita biasanya menggunakan peralatan yang lengkap, seperti tenda, lampu, selimut dan lain-lain. Di sini kita tidur dengan perlengkapan ala kadarnya,” kata Ferguson.
Sekitar 55 anggota gereja itu, umumnya para pemuda, berpartisipasi dalam kegiatan tahun ini. Mereka umumnya tidak tidur dalam tenda di halaman gereja. Banyak di antara mereka memilih untuk tidur dengan beralaskan dan atau berselimutkan karton bekas. Mereka tidak hanya berjuang menghadapi udara musim gugur yang luar biasa dingin malam itu, sekitar 3-4 derajat Celsius, tapi juga hujan gerimis yang membasahi tubuh.
Anna Wilson, seorang peserta, menilai kegiatan ini bermanfaat untuk menyadarkan orang-orang muda seperti dirinya dalam menghadapi masalah tunawisa.
“Saya merasa sangat beruntung karena di sini saya tidur di atas karton tapi menggunakan kantung tidur, bantal, selimut. Sementara, mereka, para tunawisma, tidur apa adanya. Terkadang bahkan di atas salju, di atas tanah yang kotor,” kata Wilson.
Menurut Ferguson, yang juga penting dalam kegiatan ini adalah mengajak para peserta mengenal atau memahami perasaan cemas dan ketidakpastian para tunawisma mengenai hari esok, atau bahkan masa depan.
Menurutnya, tunawisma sering menderita kesepian dan keterisolasian. Ferguson mengatakan, program ini ditujukan untuk mengingatkan setiap orang untuk mengakui keberadaan tunawisma dan tidak menghindari mereka.
Marry Schoon, seorang peserta acara itu, memahami keinginan Ferguson.
“Kita seharusnya adalah komunitas yang peduli masyarakat. Kita seharusnya memperdulikan satu sama lain. Program ini bisa membangkitkan perasaan cinta terhadap sesama,” kata Schoon.
Sejumlah tunawisma menyambut kegiatan itu. Nicholas James, seorang tunawisma mengatakan.
“Fantastis. Karena kami tunawisma, orang-orang melihat kami seolah-olah kami orang aneh dan pecandu narkoba. Kalau kami meminta uang, mereka pikir kami akan menggunakannya untuk membeli obat atau minuman beralkohol. Itu tidak benar. Kami butuh uang itu untuk makan sehingga kami bisa bertahan hidup,” kata James.
Pandangan serupa disampaikan David Maupin, seorang tunawisma.
“Orang-orang sering menggambarkan kami secara negatif. Oh kami menjadi tunawisa karena kesalahan kami sendiri , dan karena tidak mendengarkan pesan orang tua kami. Mereka tidak tahu siapa kami. Saya berasal dari keluarga yang berantakan. Menjadi tunawisma adalah cara saya bertahan hidup,” kata Maupin.
Selain kegiatan berkemah, gereja itu menggelar berbagai kegiatan lain yang diorganisasikan badan amal Catholic Charities, penyuluhan kerja, dapur umum, penyediaan bantuan keuangan darurat.
Mereka juga membuka gudang pakaian bekas, para tunawisma dapat mengambil apa saja yang mereka inginkan dari gudang itu. Terakhir dan tak kalah penting adalah kegiatan makan bersama tunawisma. Gereja Katolik Gembala yang Baik telah menyediakan dapur umum setiap malam bagi tunawisma sejak 1974.
Gereja itu juga menyelenggarkan kegiatan penggalangan kaos kaki untuk kebutuhan tunawisma di Gereja Metodis Rising Hope United, serta pengumpulan buah –terutama jeruk dan apel- untuk Proyek St. Lucy yang diorganisasikan Catholic Charities bagi tunawisma. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia