OPINI – Dewan Perwakilan Rakyat sejatinya mereka adalah wakil yang kita pilih untuk memperjuangkan kepentingan rakyat di tingkat kebijakan-kebijakan negara. Disemua negara, legislatif itu diperkuat dan bahkan dilahirkan untuk mengimbagi kekuatan eksekutif, karena eksekutif dianggap terlalu kuat sehingga dilahirkan legislatif untuk mengimbangi eksekutif.
Seperti yang dikutip dari trias politika John Locke yang merupakan orang pertama yang memaparkan legislatif. Menurut John Locke legislatif harusnya mempunyai kekuasaan tertinggi dari eksekutif, namun yang kita lihat saat ini bagaimana legislatif dan eksekutif seolah bekerja sama untuk mencapai satu tujuan yang sama, sehingga tidak tercapai suatu pemerintahan yang berdasarkan pada rakyat yang seharusnya rakyat merupakan salah satu kekuasaan tertinggi dinegara demokrasi.
Proses amandemen kita yang menyatakan Indoenesia sendiri menganut sistem presidensial, yang dimana presiden diposisikan sebagai kepala negara dan juga kepala pemerintahan, berbeda jauh dengan apa yang dianut oleh lembaga lembaga yang menganut sistem parlementer karena kekuasaan pemerintahan dipegang oleh perdana mentri.
Konsekuensinya maka pertama presiden dipilih langsung oleh rakyat, kedua presiden tidak dapat dijatuhkan oleh DPR begitupun sebaliknya. Disamping memperkuat sistem presidensial juga ada keinginan memperkuat pasca amandemen undang-undang dasar itu juga adalah check and balance. Ada kekeliruan yang terjadi dalam pola pemikiran terkait check and balance. Banyak orang yang memaknai saling mengontrol atau saling mengawasi diantara lembaga negara, jadi satu lembaga negara mempunyai kewenangan untuk mengontrol atau mengawasi lembaga negara lain.
Dalam perspektif terbaru tentang bagaimana memaknai check and balance justru makna dari check and balance tidak dimaknai seperti itu, melainkan masing-masing lembaga negara terpisah dan tidak saling mencampuri urusannya tidak saling mengawasi dan tidak saling mengontrol.
Dalam putusan mahkamah konstitusi tahun 2014 check and balance dimaknai sebagai pembatasan kekuasaan dengan kekuasaan, jadi DPR dibatasi kekuasaannya oleh kekuasaan presiden, DPR tidak bisa mencampuri kewenangan presiden dan DPR tidak bisa mengawasi kewenangan presiden karena DPR terbatas dengan kewenagan presiden tersebut.
Dulunya kewenangan pembuat Undang-Undang di tangan presiden dan sekarang berada di tangan legislatif, tapi akhirnya yang muncul bukan kesimbangan melainkan legislatif heavy karena terlalu luas kewenagan parlemen yang tidak terkait dengan tupoksi dari legislatif.
Jadi dari 3 lembaga yakni Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif punya perannya masing-masing tetapi DPR sekarang mempunyai kewenangan yang begitu besar dan tidak terkait dengan kewenangan legislatif. Misalkan dalam menentukan beberpa pimpinan lemabaga negara seperti kejaksaan, duta besar, kepolisian, KY dan KPK semua harus mengikuti prosedur DPR, padahal sudah jelas kita menganut sistem presidensial
dan ini menjadi permasalahan yang besar karena negara kita juga menganut sistem multipartai. Baik yang mencalonkan sebagai kepala daerah bahkan mencalonkan presiden harus melalui partai yang resmi terdaftar dalam KPU (Komisi Pemilihan Umum) kecuali anggota DPD yang mencalonkan secara independen.
Kita ketahui bersama bahwa presiden petahana Ir. Jokowi Widodo yang mencalonkan diri sebagai calon presiden 2019-2024 ini naik melalui partai, yakni Partai Perjuangan Demokrasi Indonesia(PDIP) yang juga partai pengusungnya juga dikala pencalonan tahun 2014-2019. Jika melihat sistem yang dianut oleh Indonesia yakni presidensial, maka presiden Jokowi Widodo bisa leluasa dalam memutuskan suatu kebijakannya tanpa arahan, dorongan, bahkan diatur oleh siapapun bilamana menyangkut kepentingan bangsa dalam masa periode berlangsung.
Namun disebabkan presiden Jokowi Widodo lewat jalur partai dan Indonesia sendiri juga menerapkan multipartai, maka presiden harus mendengar kepentingan partai yang telah mengantarkannya sampai dititik ini. Seandainya presiden Jokowi Widodo sebagai ketua partai dan juga presiden, mungkin saja akan berjalan yang namanya Good Governance tanpa ada problematika antara kepentingan sebuah partai yang menjadi langkah seseorang dalam mendapatkan jabatan.
1 Oktober 2019 telah dilantik Dewan Perwakilan Rakyat RepublikIndonesia (DPR-RI) dengan masa jabatan 5 tahun periode 2019-2024, yang dimana kursi ketua DPR di isi oleh cucu dari mantan presiden Republik Indonesia Ir.Soekarno yakni Puan Maharani yang berstatus sebagai anggota legislatif dari Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) yang sebelumnya menjadi bagian dari Kabinet Kerja. Bersamaan dengan itu juga ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di isi oleh La Nyalla Mattalitti, dan 3 hari berikutnya ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di isi wajah lama yakni Bambang Soesatyo yang tidak lain adalah mantan ketua DPR dari Partai Golongan Karya.
Ketiga lembaga ini menjadi perbincangan serius, sebab semua stakholder ini adalah pendukung suara penuh saat presiden Jokowi Widodo mencalonkan diri sebagai Calon Presiden 2019-2024 dan akan dilantik pada 20 Oktober 2019.
Ini yang menjadi persoalan dalam beberapa hari terakhir. Perannya legislatif berdasarkan tugasnya menjadi terbalik atas ketakutan dari masyarakat. Hal ini dilihat dari kedudukan kursi yang diisi oleh parlemen, tidak sepenuhnya akan bersebrangan atau sebagai penyeimbang atas kebijakan eksekutif bilamana kebijakan itu tidak menguntungkan bagi rakyat. Dalam kerangka legislatif dari DPR, MPR, dan DPD sendiri mempunyai hubungan erat dengan eksekutif, yang bisa jadi itu merupakan jalan lurus dalam pengambilan kebijakan eksekiutif dan legislatif.
Padahal yang diharapkan oleh rakyat harusnya legislatif itu menjadi oposisi bukan koalisi untuk eksekutif, bilamana selama hak-hak masyarakat itu tertindas oleh aspek-aspek hukum yang akan dikeluarkan oleh eksekutif. Karena eksekutif sendiri juga mempunyai kepentingan jangka pendek dan jangka panjang.Tetapi perlu juga melihat keadaan geografis indonesia seeutuhnya, belum siap dihadapkan dengan kebijakan yang akan menggorogoti jiwa rakyat itu sendiri.
Tugas besar eksekutif dan legislatif itu terdapat dalam lagu-lagu kebangsaan yakni Indonesia Raya yang diciptakan W.R Supratman, yakni “bangunlah jiwanya bangunlah badannya” artinya lembaga-lembaga negara tidak hanya terfokuskan dalam membangun Indonesia berdasarkan visual semata, melainkan membangun jiwa masyarakat yang merasa kehidupan di negara sendiri belum aman berkaitan dengan keputusan-keputusan yang akan dikeluarkan melalui undang-undang.
Mari kita lihat dan kawal wajah baru Indonesia pasca pemilihan. Semoga kedepannya sinergi legislatif dan eksekutif akan berjalan sesuai tupoksinya, agar kehidupan berbangsa dan bernegara akan dirasakan oleh rakyat dengan aman tanpa ada gesekan satu sama lain, dan semoga lelahnya pemimpin-pemimpin bangsa kita menjadi lillah. (*)