JAKARTA – Setelah 20 (dua puluh) tahun Reformasi, namun masih ada ketentuan yang bisa menjerat secara represi terhadap gerak-regik kebebasan masyarakat, padahal di tahun 1998 ada Ketetapan MPR No. VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menjadi pondasi jaminan kebebasan berekspresi di Indonesia, akan tetapi tahun 2008 (10 tahun) terbit dan berlaku kembali UU No. 11 tahun 2008, tentang UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektornik), yang membatasi kebebasan masyarakat, dengan telah mengirimkan ratusan orang kedalam bui.
Undang-undang ini tentu tak sepenuhnya buruk, karena ketentuan didalamnya banyak mengatur seperti soal tanda tangan eletronik yang sebelumnya tak punya kekuatan hukum, dan soal hak kekayaan intelektual yang makin relevan dengan perkembangan teknologi saat ini. Namun hadirnya beberapa pasal sisipan UU ITE membuat UU tersebut justru jauh dari kehendak fitrah dari pembuat awalnya.
Pasal-pasal Yang Bermasalah Dalam UU ITE
Seperti yang terjabar di asasnya, UU ITE dibuat untuk melindungi kepentingan negara, publik, dan swasta dari kejahatan siber (cyber crime), karena aspirasi membe secara online, pencucian uang dan ntuk UU ITE sebetulnya dimulai dari tindakan-tindakan kriminal, seperti carding (perdagangan kartu kredit, rekening bank dan informasi pribadi secara online, serta pencucuian uang), dan Voice over Internet Protocol (VOIP).
Naskah akademik buatan tim gabungan UI dan ITB diajukan ke Badan Legislatif di DPR, institusi terakhir tersebut menambahkan beberapa pasal yang sebelumnya tak ada, dan tidak ada hubungan langsung dengan konsep cyber crime, seperti 27, 28, dan 29 yang memuat aturan tindak kriminal pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3), penodaan suku, agama, dan ras (Pasal 28 ayat 2), dan tindakan pemerasan, pengancaman, serta menakut-nakuti (Pasal 27 ayat 4 dan Pasal 29).
Pasal-pasal tersebut di atas sangat memungkinkan terjadinya penyelewengan dalam penggunaannya, karena redaksi dari pasal-pasal itu multitafsir yang tak memiliki penjelasan memadai, yang bersifat pasal karet.
Misalnya pada Pasal 27 ayat (3), kata-kata mendistribusikan dan mentransmisikan bisa dimaknai sangat luas, yang tidak membedakan mana komunikasi privat dan mana public, akibatnya semua hal melalui medium internet bisa masuk dalam kategori ini. Sementara itu kata-kata mentransmisikan, bisa juga melibatkan pihak penyelenggara sistem komunikasi dan pengembang, apakah ketika ada konten yang mencemarkan nama baik, provider internet juga bersalah ?
Demikian juga perihal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tak semua menjadi urusan negara, karena pada Pasal 310 KUHP, dijelaskan ada beberapa kategori penghinaan yang berbeda. Misalnya, Pasal 310 KUHP ayat (3), menjelaskan bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan itu jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri, sementara UU ITE tak menjelaskan apapun terkait pasal-pasal pencemaran nama baik tersebut. Hal ini tidak hanya terjadi pada Pasal 27 ayat (3), namun juga pada Pasal 28 ayat (2) soal rasa kebencian yang terlalu luas definisinya, serta Pasal 29 soal ancaman kekerasan dan menakut-nakuti yang pengertiannya sangat subyektif.
Dilema Hukumnya
Beberapa pasal sisipan tersebut sebetulnya sudah ada di Kitab Undang-Undang Hukum Pidata (KUHP), sehingga posisinya menjadi mubazir karena ada aturan yang lahir sebelumnya dan bahkan lebih rinci.
Ketentuan di UU ITE dan KUHP memiliki hukuman yang berbeda, pasal kriminalisasi di UU ITE pada Pasal 45, tindak pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik, dan pengancaman/pemerasan mendapatkan ancaman 6 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar, sedangkan ancaman hukuman di KUHP paling lama 1 tahun 4 bulan dan denda sebatas Rp 4.500, sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), apabila seseorang melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun, ia harus ditahan saat melakukan proses persidangan.
UU ITE awalnya bertujuan untuk memberi payung hukum dan perlindungan segenap stakeholder internet, menjadi alat balas dendam orang-orang kuat terhadap pihakpihak yang tak mereka senangi. Hal ini terjadi karena adanya pasal-pasal karet, seperti dalam pasal 27, 28, 30, dan 36, yang memuat pasal-pasal kriminalisasi yang tak ayal menjadi bahan penyalahgunaan hukum oleh orang-orang berkuasa, minimal oleh mereka mempunyai ekonomi yang sangat baik.
UU ITE Delik Aduan
Orang yang diirugian jika mau lapor pakai ketentuan UU ITE, harus datang sendiri ke Kepolisian, yang kemudian Kepolisian bergerak sesua prosedur yang ada, misalnya menggunakan Pasal 27 ayat 3, dan proses hukum berbasis UU ITE membutuhkan dana yang tidak sedikit, seperti ada proses forensik digital, manggil saksi fakta, saksi ahli pidana, IT, bahasa dan lain yang terkait. Pada akhirnya, UU ITE (kemungkinan) hanya bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki status ekonomi dan sosial politik yang tinggi, dan itu berdampak pada ketidakadilan dalam masyarakat.
Nyatanya UU ITE Menjadi Bahan Barter Kasus
Dengan kondisi pasal-pasal yang boleh dikatakan tidak matang dan kerap rancu tersebut, pada praktiknya UU ITE kerap digunakan untuk balas dendam atau barter kasus antara dua pihak yang bertikai.
Contoh pada kasus Ahmad Dhani, dalam kasus ujaran kebencian, negara dalam hal ini kebablasan yang bertindak terlampau keras/berlebihan dengan langsung menahan dalam Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang Jakarta, yang kemudian dipindahkan ke Rutan Madaeng Surabaya. Hal ini terlihat ada tensi yang tinggi/kegerahan Pemerintah RI (karena dekatnya Pilpres 17 April 2019), padahal putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 28 Januari 2019, selama 1.5 tahun yang tidak harus ditahan, dan kami sebagai Kuasa Hukum Ahmad Dhani masih melakukan upaya hukum Banding.
Awalnya Ahmad Dhani dituduh melakukan ujaran kebencian dengan 3 tweeter, dan terbukti dalam persidangan hanya 1 (satu) teweeter yang disebutkan Dhani, yaitu “Para Pembela Penista Agama Adalah Bajingan Yang Perlu Diludahi Mukanya”, dan sanksi hukumnya di bawah 5 (lima) tahun, sehingga tidak perlu di hukum badan. Sekian… (rls)