Bandung – Sejumlah cendekiawan Islam menyerukan masyarakat muslim Indonesia terus mengedepankan Islam yang moderat dan toleran.
Dalam acara bincang-bincang di Universitas Islam Bandung (Unisba), Senin (10/12), para tokoh ini mengatakan Indonesia memiliki potensi melawan berkembangnya radikalisme di kawasan. Ini harus dijaga, karena menurut cendekiawan Islam Azyumardi Azra, sebagian masyarakat muslim masih terpesona dengan Timur Tengah, misalnya Arab Saudi, Turki, atau Iran. Padahal, praktik Islam di negara-negara itu belum tentu sejalan dengan nilai-nilai Islam.
“Jadi oleh karena itu kita nggak perlu meniru-niru Iran. Dalam hal sikap konfrontatifnya saya kira nggak perlu. Kita nggak perlu bikin-bikin masalah dengan negara-negara lain,” tegas Azyumardi.
Ditambahkannya, “saya kira itu penting sekali. Jangan terpesona oleh Iran atau terpesona oleh Saudi. Kerja Saudi apa? Membomi orang-orang di Yaman. Berapa puluh ribu yang sudah dimatikan, dibunuh oleh koalisi militer pimpinan Saudi? Anak-anak kecil terancam mati kelaparan.”
Anak-anak yang terancam mati kelaparan di Yaman itu mencapai hampir setengah juta, menurut laporan UNICEF tahun 2018.
Pakar studi Islam di UIN Jakarta ini mengatakan, muslim indonesia harus bangga dengan identitasnya sendiri. Sebagai warga Indonesia, masyarakat muslim juga diharapkan menjaga tanah air sebagai rumah milik bersama.
“Indonesia ini harus kita jaga. Jangan jadikan Indonesia ini hotel tapi rumah. Jadi kalau rumah kebakaran, kita jangan lari kita padamkan apinya. Kalau kita jadikan hotel, kita cari pesawat besok atau saat ini juga, ke Singapura atau ke mana saja kita pergi. Itu (kalau) menjadikan Indonesia sebagai hotel,” pungkasnya.
Islam Indonesia Punya Potensi Besar
Data Pew Research Center pada 2010 menunjukkan Indonesia memiliki jumlah populasi muslim terbesar di dunia yaitu 204 juta orang, disusul Pakistan dengan 178 juta jiwa, dan India dengan 177 juta jiwa. Riset yang sama mencatat, 62 persen populasi muslim dunia berada di kawasan Asia-Pasifik, sementara Timur Tengah memiliki populasi muslim di bawah Asia-Pasifik.
Majalah Time dan Newsweek di Amerika menyebut Islam Indonesia sebagai “Islam yang tersenyum” yang dikontraskan dengan Timur Tengah yang kerap dilanda konflik. Namun menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bandung, Miftah Faridl, masyarakat muslim Indonesia mulai gagap menghadapi perbedaan. Padahal, tokoh-tokoh politik Islam dan nasionalis di masa lalu bisa bersikap arif.
“Natsir Masyumi, Wilopo adalah orang nasionalis. Ketika Pak Wiolopo sakit, Natsir yang mendoakan. Hamka enam tahun dipenjara oleh Bung Karno. Ketika Hamka keluar penjara, ia yang mendoakan bung Karno, mensholatkan bung Karno. Ceramah memuji-muji bung Karno,” kisahnya.
Dia juga melihat ada kemunduran dalam kesalehan sosial yang berlandaskan nilai-nilai agama.
“Ada kemunduran saya kira di bidang kejujuran dan kesantunan, dan lain-lain. Mereka itu berkelahi di forum tapi kalau keluar bisa bersama-sama (lagi). Luar biasa itu,” jelasnya lagi.
Anak Muda didorong junjung Islam moderat di ruang internet
Kelunturan nilai toleransi dan moderasi itu tercermin juga dalam ruang internet. Riset yang dilakukan Institute for Global Change pada 2016 menunjukkan bahwa laman internet yang membahas agama masih didominasi oleh kelompok yang menyuarakan radikalisme. Sementara kelompok moderat jauh tertinggal. Penelitian ini menunjukkan, dari 47 kata kunci seperti ‘jihad’ dan ‘Negara Islam’, 89 persennya menyuarakan ekstremisme, sementara yang moderat hanya 11 persen. Riset ini dilakukan terhadap 870 laman internet.
Dosen komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba) Ani Yuningsih mengajak muslim moderat lebih aktif mempromosikan Islam toleran di media sosial. Sebab, suara kelompok ini harus lebih unggul dari yang radikal.
“Karena yang moderat dan toleran cenderung pasif dalam penggunaan media sosial dan media online. Jadi mereka hanya membaca, mempelajari, tapi tidak aktif dalam menyebarkan pesan-pesan edukatif yang meliterasi bagaimana cara menjalankan Islam secara moderat dan toleran,” ujar Ani.
“Jadi mulai sekarang kita jangan jadi penonton pasif. Kita masing-masing punya akun, bisa create berbagai pesan, bisa jadi produsen (pesan),” kata Ani menambahkan.
Doktor komunikasi lulusan Universitas Padjajaran ini mengatakan, kehadiran kelompok muslim moderat Indonesia itu akan melawan ujaran kebencian yang banyak beredar di internet.
“Mari kita tunjukkan jati diri kita, value yang kita punya, brand yang kita akan bangun, dengan nilai-nilai plus yang kita punya – tanpa mendiskreditkan atau menyampaikan ujaran kebencian kepada pihak lain yang berbeda,” tegasnya. [*]
Sumber Berita dan Foto : VoA Indonesia