Gorontalo – Sejak diundangkan melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960, Hak Guna Usaha (HGU) telah menjadi polemik tersendiri dalam persoalan agraria. Hampir setiap pemberian HGU selalu diikuti oleh konflik agraria dalam skalanya masing-masing. Selama tahun 2018 saja, berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), telah terjadi 410 konflik agraria. Sebanyak 144 kasus atau 35 persen di antaranya berkaitan dengan usaha perkebunan, dan 83 kasus di antaranya terkait perkebunan kelapa sawit.
Dalam konteks Gorontalo pun tak ketinggalan. Untuk menyebut beberapa contoh permasalahan yang dilaporkan masyarakat ke Ombudsman RI Perwakilan Gorontalo: konflik agraria di lokasi HGU PT. PG Tolangohula, tumpang tindih lahan HGU PT. Bumi Sumalata Indah dan Kawasan transmigrasi di Desa Bulontio Timur Kec. Sumalata, hingga permasalahan redistribusi lahan eks HGU Mootoduwo dan Motolotaluhu di Kabupaten Gorontalo. Daftar ini akan lebih panjang jika melihat kebijakan reforma agraria yang berjalan sangat lambat.
Permasalahan ini telah menjadi perhatian serius Ombudsman sejak lama. Pada tahun 2017, Ombudsman RI melakukan systemic review/kajian kebijakan secara nasional terkait permasalahan ini dengan fokus pada mekanisme kebijakan dalam pemberian, penguasaan, dan pengusahaan HGU. Tulisan ini hadir di hadapan pembaca untuk menjelaskan secara singkat hasil dan rekomendasi dari kajian tersebut.
Sengkarut Masalah
Dari laporan-laporan yang masuk ke Ombudsman, diketahui bahwa pemberian HGU mengandung segudang potensi maladministrasi: sejak proses pemberian izin lokasi, proses perolehan tanah, proses penetapan hak dan pemberian sertipikat. Proses yang panjang, waktu yang lama, keterlibatan instansi lintas-sektor, serta regulasi yang bertumpuk dan berbeda-beda membuat proses ini semakin rumit. Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku pencatat administrasi pertanahan dan Pemerintah Daerah selaku pemberi izin menjadi kunci utama untuk mengurai benang kusut ini.
Dalam proses izin lokasi, meski telah diatur dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN RI No. 5 tahun 2015 tentang izin lokasi, Ombudsman menemukan beberapa potensi maladministrasi. Misalnya dalam Pasal 15 disebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Izin Lokasi ditetapkan oleh Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya”. Artinya, jika pemerintah daerah tidak menyusun peraturan tata cara secara lebih teknis dan detail, di tingkat lokal akan terjadi potensi penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Daerah dalam memproses pengajuan pemberian izin lokasi. Seorang pimpinan daerah akan dengan leluasa melakukan “barter” izin lokasi suatu HGU dengan transaksi-transaksi politik. Hal ini akan menjadi lebih kompleks apabila di lokasi yang dimohonkan belum memiliki rencana tata ruang wilayah. Apa yang terjadi dengan Bupati Buol Amran Batalipu yang disuap oleh PT Hardaya Inti Plantation pada tahun 2012 lalu patut menjadi contoh. Pemberian suap itu berkaitan dengan pengurusan HGU lahan sawit di Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol.
Lebih lanjut, Ombudsman juga menemukan bahwa jangka waktu 3 (tiga) tahun untuk pemegang izin menyelesaikan perolehan tanah seringkali sulit dilaksanakan. Pada kenyataannya, proses pembebasan lahan biasa memakan waktu bertahun-tahun, apalagi jika di atas tanah tersebut bersengketa/tumpang tindih dan/atau merupakan wilayah tanah adat. Akibatnya potensi bagi kepala gubernur, bupati/walikota untuk memberikan lagi izin lokasi baru di lokasi yang sama terbuka lebar dan berpotensi besar terjadi penyalahgunaan wewenang.
Hal ini menjadi sangat urgen karena meski pada prinsipnya izin lokasi hanyalah salah satu syarat pengurusan izin dan bukan merupakan pemberian hak atas tanah, namun peng-usaha-an tanah telah dilakukan dengan modal izin dari kepala daerah ini. Kasus seperti ini banyak terjadi pada lahan sawit. Dimana sering sekali perusahaan kelapa sawit di Indonesia sudah mulai membersihkan lahan atau membuka kebun hanya bermodal izin lokasi dan izin usaha perkebunan. Padahal, izin lokasi itu artinya hanya sebatas memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk berada di kawasan yang ditetapkan. Tidak lebih.
Dalam proses penetapan hak, Ombudsman menemukan fakta dimana masyarakat merasa tidak diikut-libatkan pada saat pengukuran/penetapan batas. Begitupun, tidak semua pihak terkait yang harus terlibat disertakan pada sidang pemeriksaan tanah (Panitia B). Atau, pertimbangan dari pihak-pihak yang terkait langsung tidak seluruhnya diakomodir sehingga informasi mengenai kesesuaian antara fakta yuridis dan fisik tanah tidak memadai.
Penundaan berlarut pun kerap terjadi dalam proses pemberian surat keputusan, pendaftaran hak, hingga proses pemberian sertipikat/pengambilan dokumen sertipikat oleh Pemohon. Keluhan ini seharusnya tidak terjadi mengingat secara tegas jangka waktu penerbitan dan pendaftaran telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.
Yang Bisa Dilakukan
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengurai carut sengkarut permasalahan ini? Tentu bukan pekerjaan mudah dan ringkas. Di tingkat lokal, tata cara pemberian izin lokasi harus diadakan dan ditetapkan oleh pimpinan daerah, termasuk mengevaluasi izin-izin lokasi yang telah diterbitkan namun belum diusahakan/ber-HGU. Begitupun, koordinasi antar instansi/Lembaga dalam pemberian, penguasaan dan pengusahaan HGU harus diintensifkan mengingat belum adanya suatu regulasi atau kebijakan yang mengintegrasikan data dan kewenangan masing-masing instansi secara terpadu dan ‘real time’.
Di level nasional, perbaikan sistem layanan, revisi regulasi dan singkronisasi peraturan perundangan terkait harus segera dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN RI. Juga pembangunan sistem berbasis teknologi informasi yang dapat memudahkan koordinasi antar instansi dan kemudahan bagi pemohon sehingga keluhan terhadap waktu layanan dan prosedur yang berbelit dapat diminimalisir. Lebih jauh, Pemerintah pun perlu mempertimbangkan lagi tentang jangka waktu pemberian HGU dengan kondisi keterbatasan lahan yang ada. Sengketa dan konflik yang sering terjadi antar masyarakat-perusahan-negara di area HGU atau eks. HGU harus segera diakhiri untuk menjamin keadilan agraria bagi seluruh “bangsa Indonesia”. [**]