Jakarta -Dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Rabu (19/12), Kepala BNPB Willem Rampangilei menjelaskan banjir (627 kejadian), longsor (440 kejadian), dan angin puting beliung (750 kejadian) masih tetap mendominasi kejadian bencana tahun ini. Dia menambahkan per 14 Desember lalu, bencana yang terjadi berjumlah 2.426.
“Itu menyebabkan 4.231 orang meninggal dan hilang. Lalu ada 6.948 orang luka, sedangkan masyarakat yang terdampak jumlah keseluruhannya 9,9 juta orang. Rumah rusak 374.023 unit, ini belum termasuk kerusakan infrastruktur dan bangunan,” kata Willem.
Selain itu, bencana sepanjang 2018 juga mengakibatkan 1.928 fasilitas pendidikan, 110 fasilitas kesehatan, dan 1.120 rumah ibadah rusak.
Dari 2.426 bencana tahun ini, 96,9 persen bencana bersifat hidro meteorologis dan sisanya bersifat geologis. Meski hanya 3,1 persen, bencana geologis menyebabkan dampak yang lebih besar.
Lebih lanjut Willem mengungkapkan sebanyak 20 gempa besar tahun ini menyebabkan 572 orang meninggal, 2.012 orang cedera, 483.364 orang mengungsi, dan 16.520 rumah rusak.
Tahun ini hanya terjadi satu kali gempa diikuti tsunami dan likuifaksi, yakni di Sulawesi Tengah, yang menyebabkan 3.397 orang meninggal, 4.426 luka, 221.450 orang mengungsi, dan 69.139 rumah rusak berat.
Menurut Willem, sejak 2009 hingga 2018 tren bencana di Indonesia meningkat, baik dalam hal intensitas maupun frekuensi. Dia menambahkan ada beberapa faktor yang membuat tren itu meningkat.
“Pertama adalah terjadinya kerusakan lingkungan yang terus menerus, jadi masih berlangsung kerusakan lingkungan. Kedua, DAS (daerah aliran sungai) kritis. Faktor lainnya adalah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, masalah tata ruang, begitu juga perilaku masyarakat yang belum mencerminkan budaya sadar bencana,” imbuhnya.
Sedangkan tahun lalu untuk periode serupa, 1 Januari-14 Desember 2017, jumlah bencana yang terjadi lebih banyak. Namun akibat dari bencana tahun ini lebih mengerikan: jumlah korban meninggal dan hilang, korban cedera, rumah rusak naik.
Sepanjang tahun ini, lanjut Willem, lima provinsi dengan jumlah bencana terbanyak adalah Jawa Tengah (551 kejadian), Jawa Timur (422 kejadian), Jawa Barat (322 kejadian), Aceh (150 kejadian), dan Kalimantan Selatan (95 kejadian).
Sedangkan lima kabupaten dengan jumlah bencana terbanyak adalah Bogor (76 kejadian), Cilacap (57 kejadian), Wonogiri (54 kejadian), Serang (46 kejadian), dan Ponorogo (41 kejadian).
Sebagai negara rawan bencana, Willem menegaskan Indonesia wajib berinvestasi dalam pengurangan risiko bencana. Sebab bencana juga mengakibatkan pelambatan pertumbuhan ekonomi di daerah lokasi bencana atau yang terdampak dan juga mengakibatkan naiknya jumlah penduduk miskin.
Dia mencontohkan gempa yang diikuti tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah telah meningkatkan jumlah penduduk miskin baru sebesar 18.400 orang. Sehingga orang miskin di provinsi itu tahun depan berjumlah 438.610 orang.
Untuk memulihkan Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca digoyang gempa, pemerintah memperkirakan kebutuhan dana sebesar Rp 34 triliun, terdiri dari Rp 22 triliun untuk pemulihan di Sulawesi Tengah dan Rp 12 triliun di NTB.
Sepanjang tahun ini, dari 127 gunung api aktif di Indonesia, satu gunung api berstatus Awas (level 4) sejak 2 Juni 2015, yakni Gunung Sinabung. Dua gunung api berstatus Siaga (level 3), yaitu Gunung Agung sejak 10 Februari 2018 dan Gunung Soputan sejak 3 Oktober 2018.
Sebanyak 18 gunung api berstatus Waspada (level 2), adalah Merapi Illi Lewotolok, Banda Api, Dempo, Bromo, Rinjani, Karangetang, Lokon, Gamalama, Sangeangapi, Rokatenda, Ibu, Gamkonora, Semeru, Anak Krakatau, Marapi, Dukono, dan Kerinci.
Willem mengatakan tahun depan tidak ada topan El Nino dan La Nina yang menguat intensitasnya, sehingga musim hujan dan kemarau akan berjalan normal. BNPB memprediksi akan ada lebih dari 2.500 bencana pada 2019 dan bencana hidrometeorologi – banjir, longsor, dan puting beliung – masih akan mendominasi.
Dr Inosentius Samsul, Kepala Pusat Perancangan Undang-undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat mengakui kepedulian sekaligus penanganan bencana di Indonesia paling tidak sudah terstruktur dan terlembaga.
Inosentius mengakui pula lahirnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memang sudah cacat sejak lahir karena banyak sekali kekurangan terutama kalau dikaitkan dengan kepentingan sektoral. Karena itu dia mengimbau momentum 10 tahun BNPB sebagai waktu yang tepat untuk melakukan perbaikan.
Inosentius mengatakan sebuah undang-undang akan diuji melalui praktik di lapangan. Dia menilai gempa yang terjadi di Lombok beberapa waktu lau merupakan pengalaman berharga untuk memperbaiki undang-undang atau memperbaiki kelembagaan yang ada tanpa harus mengubah undang-undang.
Meskipun demikian Inosentius menekankan Indonesia menjadi patokan bagi negara-negara lain dalam penanggulangan bencana.
“Urusan penanggulangan bencana itu, rencana induknya, strategi penanggulangannya tetap di BNPB. Sehingga nanti apa yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial, apa yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan mengacu pada apa yang ditetapkan oleh BNPB. Jadi kekuatannya itu pada konsep, kebijakan,” kata Inosentius. [*]
Sumber Berita dan Foto : VoA Indonesia