SURABAYA – Tekonologi digital menjadi kebutuhan masyarakat di era komunikasi 4.0. Kegiatan International Post-Graduate Conference on Media and Communication yang digelar Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya ini, mengulas konsekuensi negatif dan positif teknologi digital disebut memiliki konsekuensi positif dan negarif dalam relasi antar masyarakat, terutama dengan maraknya hoaks atau informasinya palsu melalui perangkat komunikasi modern.
Saat ini, media sosial tidak hanya menjadi sarana komunikasi di era modern, tapi juga menjadi sarana penyebaran informasi yang bisa menjauhkan masyarakat satu sama lain.
Selama 2018, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) berhasil menangkal (debunk) 997 dari ribuan hoaks yang beredar melalui media sosial dan perangkat teknologi komunikasi lainnya. Hoaks tersebut beragam, mulai dari isu politik, agama, etnis, kesehatan, hingga bencana
Bahkan selama Januari hingga April 2019, peredaran hoaks meningkat setiap bulannya menjadi lebih dari 100 hoaks, dibanding 2018 yang rata-rata mencapai 83 hoaks.
Menurut Nuril Hidayah, dari Tim Mapping Komite Litbang Mafindo, banjir informasi yang memenuhi media komunikasi dan teknologi telah menimbulkan dampak serius terhadap relasi antar masyarakat. Menahan diri dan melakukan pengecekan secara mandiri kata Nuril, merupakan salah satu cara mencegah hoaks mudah menyebar di media sosial maupun perangkat digital yang dimiliki masyarakat.
Nuril menyarankan untuk melalukan pengecekan silang terlebih dahulu saat menerima informasi apa pun, terutama untuk isu-isu sensitif terkait SARA.
“Pertama mitigasinya adalah dengan menahan jempol. Tidak men-share terlebih dahulu. Kemudian critical analisys itu dipakai, siapa ini sebetulnya, sumbernya, bagaimana informasi ini bisa muncul itu dari mana, tentang apa, apakah kontennya itu mengandung fakta atau tidak. Nah, itu kita lakukan sebelum kita share kepada orang lain,” ujar Nuril.
Informasi, kata Nuril, akan berdampak signifikan setelah disebarkan dan hanya bisa dihentikan bila pengguna berhenti menyebarkan.
Dina Septiani, Dosen Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, keberadaan teknologi komunikasi seharusnya tidak membuat pengguna lepas kendali. Manusia justru harus menjadi pengontrol tekonologi, dengan tetap mengedepankan nilai moral dan kemanusiaan dalam berkomunikasi di era modern.
“Menempatkan kembali power itu di tangan manusia itu sendiri dan tidak melimpah segalanya itu di teknologi, di automation (automasi, red),” kata Dina. “Jangan sampai teknologi mengatur manusia, tapi manusialah yang menjadi pengontrol teknologi tersebut,” ujarnya.
Dina Septiani menambahkan, keunggulan teknologi komunikasi yang memungkinkan manusia berinterksi tanpa batas dan secara cepat, harus dibarengi dengan kemampuan masyarakat membekali diri dengan literasi. Menurut Dina, literasi menjadi modal utama masyarakat dalam berkomunikasi, sehingga teknologi yang digunakan tidak sampai menjadi sarana perusak relasi antar manusia itu sendiri.
“Tantangan sebenarnya bagi pendidik juga ya, adalah bagaimana membangun literasi di kalangan masyarakat umum, tidak hanya akademisi. Bahwa kita butuh literasi itu, human power dalam menggunakan teknologi yang memudahkan kita. Itulah mengapa literasi itu diperlukan juga. Jadi, kita tidak dengan otak yang kosong menggunakan teknologi yang ada. Jadi ada kebutuhan literasi di situ,” imbuh Dina Septiani. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia