Mulai dari Twitter sampai WhatsApp, kehadiran media sosial dianggap membantu suara rakyat lebih terdengar. Karenanya, teknologi digital dipercaya mendorong partisipasi publik dalam proses politik. Namun apakah itu terjadi di Indonesia?
Pojok6.id (Gaya Hidup) – Bagi seorang disabilitas seperti Maulani Rotinsulu, kehadiran teknologi digital telah mempermudah upaya advokasinya. Dia mengatakan interaksi digital membantu kelompok disabilitas membangun gerakan.
“Penyandang disabilitas mayoritas diuntungkan akses digital. Karena digitalisasi memfasilitasi disabilitas untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Banyak hal yang lebih dipercepat,” kisahnya.
Interaksi digital pun membuat orang lebih mudah percaya kepada kelompok disabilitas. Hal ini terjadi ketika berinteraksi dengan para pengambil kebijakan, tambah Maulani yang pernah menjadi Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) ini.
“Dulu kita kan berhadap-hadapan dengan legislator. Mereka ketika berhadapan dengan ragam disabilitas, stigmanya masih tebal. Tapi ketika kita menggunakan narasi digitalisasi, tidak berhadapan secara langsung, ini perosesnya lebih cepat,” tambahnya yang sudah mengadvokasi isu disabilitas selama 40 tahun ini.
Suara Rakyat Tidak Otomatis Didengar
Pengalaman kelompok disabilitas juga dirasakan kelompok masyarakat sipil lain dalam upaya advokasi.
Menurut Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Nur Sholikin, teknologi digital memang membantu berbagai gerakan sipil. Gerakan Cicak vs. Buaya pada 2008, misalnya, menggunakan media sosial untuk mendulang dukungan masyarakat luas.
Namun, menurut Sholikin, teknologi digital tidak serta merta membuat suara rakyat didengarkan. Aspirasi publik memang mudah dipetakan, tetapi pemerintah pura-pura tidak mendengar.
Dia mencontohkan, unjuk rasa RUU Cipta Kerja dan revisi UU KPK, yang mendapat dukungan masif di media sosial, nyatanya tidak mampu mencegah proses legislasi.
“Jadi tidak akan ada artinya jika kemanjuan teknologi dan peningkatan partisipasi masyarakat dengan dukungan teknologi itu, jika tanpa diimbangi transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola pemerintahan yang baik untuk bisa menyerap aspirasi dari publik,” terangnya dalam sebuah diskusi, Selasa (7/6/2022) sore.
Sholikin justru menilai ruang partisipasi publik makin kemari makin sempit. Dia melihat proses legislasi didominasi elit sementara partisipasi masyarakat hanya formalitas.
Hal ini menurutnya ironis mengingat partisipasi masyarakat telah dijamin UU no 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan UU no 17/2014 tentang MPR, DPR, DPR, dan DPRD.
“Secara desain normatif kita masih punya hak. Masyarakat sipil juga masih punya hak. Hanya memang dari sisi praktik itu sangat terbatas saat ini. Jadi ruang-ruang yang diberikan pemerintah dan parlemen dalam berpartisipasi untuk mendorong pembentukan sebuah UU atau kebijakan itu semakin terbatas,” tandasnya.
Masih Banyak yang Tidak Akses Digital
Sementara itu, Jagat Patnaik dari ActionAid mengingatkan bahwa masih ada kelompok masyarakat yang tidak punya akses digital. Karena itu, gerakan sipil secara offline harus tetap diupayakan.
“Di tempat tertentu, orang-orang mungkin tidak punya akses ke gawai. Jelas kelompok itu tidak terlibat. Jadi harus ada gerakan offline dan online supaya transisi terjadi. Menggunakan teknologi digital, kita harus upayakan pelibatan bukan peminggiran. Itu harus dijaga baik-baik,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Hal senada diutarakan Maria Ulfa Ansor dari Komnas Perempuan. Perempuan korban kekerasan, misalnya, tidak semuanya bisa mengakses teknologi digital.
“Di masa pandemi itu kekerasan terhadap perempuan cukup tinggi. Tapi sebagian besar memilih mendiamkan. Karena dia punya keterbatasan untuk memberikan pelaporan secara digital, belum terbiasa. Pilihannya adalah menahan,” jelasnya.
Akses digital di Indonesia sendiri memang masih timpang. Data Bank Dunia menunjukkan 49 persen populasi Indonesia belum punya akses internet. Akses terhadap teknologi digital ini masih terkonsenterasi di kota-kota besar. [voa]