Belajar dari Perang Karansebes

Ahmad Fadhli (Dosen Agribisnis, FAPERTA UNG / Mahasiswa Doktor Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika IPB). Foto: istimewa

GORONTALO – Kurang lebih hampir dua setengah abad yang lampau, terjadi sebuah peperangan antara pasukan gabungan Austria, Jerman dan Perancis melawan pasukan Turki (Kerjaan Ottoman). Perang tersebut terjadi di wilayah Rumania tepatnya disebuah Kota yang bernama Karansebes.

Perang ini cukup konyol, karena terjadi ketika orang Austria, Jerman dan Perancis mendirikan kemah untuk bermalam. Sedangkan beberapa pasukan pengintai ditugaskan untuk jaga malam dan memeriksa pedesaan terdekat untuk mengecek kehadiran pasukan Turki. Bukan pasukan Turki yang mereka temukan, melainkan sekelompok kaum gipsi yang menawarkan minuman beralkohol.

Dari sinilah awal mula kekacauan terjadi ketika pasukan infanteri gabungan Austria, Jerman dan Perancis menemukan kelompok pengintai tersebut. Pasukan gabungan yang ditugaskan untuk mengintai tersebut minum alkohol bersama-sama hingga memecahkan pertengkaran diatara mereka. Salah satu orang yang bersemangat sampai melepaskan tembakan hingga menyulut perang. Petugas infanteri lain yang mendengar tembakan mengira bahwa itu adalah isyarat dari adanya pasukan Turki. Sampai akhirnya pertempuran ini menjadi liar dan tak dapat dikendalikan.

Read More
banner 300x250

Satu-satunya yang memenangkan pertempuran adalah kebodohan yang mengakibatkan nyawa diantara sesama pasukan gabungan Austria, Jerman dan Perancis hilang secara sia-sia. Pasukan Turki yang datang sebagai musuh mereka justru menemukan lebih dari 10 ribu jasad tentara Austria, Jerman dan Perancis dalam keadaan tewas dan terluka.

Dari sinilah pasukan Turki dapat merebut wilayah sambil tertawa dengan kebodohan tersebut. Pasukan Turki tertawa terbahak-bahak karena melihat musuh mereka berperang antar sesama karena mabuk. Akhirnya pasukan Turki tidak mengeluarkan peluru sebutir pun, karena sebagian besar musuh mereka sudah terkapar mati dan tak berdaya.

Beberapa saat lagi senat akademik UNG akan melakukan hajatan besar empat tahunan yaitu pemilihan Rektor yang akan menentukan nasib dari institusi UNG kemana dia akan berlabuh. Jangan sampai polarisasi yang terjadi dalam kali ini membuat Civitas Akademika UNG menjadi mabuk seperti pasukan gabungan Austria, Jerman dan Perancis, yang mengakibatkan sesama mereka saling melukai (perasaan) dan bahkan saling membunuh (karakter). Sehingga musuh yang sesungguhnya (kebodohan) akan menertawai kita sebagai akademisi.

Sebagai akademisi sudah sepantasnya kita memaknai Pilrek ini sebagai Palchinsky Principles, yaitu berfikir pada spektrum yang lebih luas. Sesungguhnya perang baru akan dimulai ketika rektor UNG sudah terpilih, karena tantangan dan arus gelombang terbesar kita adalah menjadi Leading University di Asia Tenggara. (*)

Baca berita kami lainnya di

Related posts

banner 468x60