Arsitektur Bangunan Tua Peninggalan Kolonial di Gorontalo

Salah satu bangunan tua yang diduga peninggalan Kolonial di Jalan Sutoyo, Kelurahan Biawao, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.(Foto : Ihyas)

GORONTALO – Pada masa lampau, Gorontalo adalah salah satu daerah yang disinggahi oleh perusahaan dagangan Hindia Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Maka tak heran kalau Gorontalo khususnya Kota Gorontalo memiliki banyak bangunan tua peninggalan , yang berbentuk arsitektur indie atau bangunan arsitektur bentuk terapan lokal dan arsitektur Hindia Belanda.

Beberapa bangunan dengan arsitektur penting peninggalan kolonial yang ada di Kota Gorontalo itu sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Meski demikian masih banyak bangunan-bangunan tua baik milik saudagar atau masyarakat biasa yang tidak ditetapkan sebagai cagar budaya.

Menurut Staf Balai Pelestarian Cagar Budaya () Gorontalo Ajeng Wulandari, arsitektur bangunan peninggalan kolonial di Kota Gorontalo baik itu bangunan pemerintahan atau bangunan biasa, merupakan wajah sejarah perkembangan kota dari masa lalu.

Read More
banner 300x250

“Misalnya cuma bangunan milik orang biasa atau rumah milik saudagar, artinya mereka bukan orang-orang yang penting dalam pemerintahan, tapi kan mereka juga ada dalam sejarah perkembangan kota. Apalagi itu jadi indikasi kalau Kota Gorontalo berkembang dari kota perdagangan” kata Ajeng saat dihubungi via telepon.

Lebih lanjut, Ajeng yang juga sebagai tim gabungan pemetaan cagar budaya mengatakan, sejak tahun 2017 usaha untuk mengusulkan penetapan kawasan cagar budaya di Kota Gorontalo sudah dilakukan, namun hal itu terkendala dengan kelengkapan latar sejarah yang diajukan di sistem Registrasi Nasional (Regnas) cagar budaya.

“Dasar (latar sejarah) itu ternyata belum kuat untuk kami jadikan usulan penetapan latar sejarahnya belum kuat. Makanya verifikasinya masih tertunda itu dikembalikan karena kami diminta melengkapi latar sejarahnya,” katanya.

Lanjut Ajeng, dalam pengajuan Regnas tim pemetaan masih memilih latar sejarah yang tepat, memakai peta tua zaman raja-raja kecil atau menarik kembali latar sejarah ke zaman kemerdekaan yakni zaman perjuangan Nani Wartabone.

Ajeng juga mengakui telah mengajukan wilayah kawasan cagar budaya seluas 158,43 hektar (ha) dan dibagi menjadi dua zona, yakni zona inti dan zona penyanggah. Zona Inti memiliki luasan 68,38 hektar dan zona penyanggah memiliki luas 90,05 ha.(IYS)

Baca berita kami lainnya di


banner 468x60

Related posts

banner 468x60