Surabaya – Jalan Gubeng di Surabaya ambles sedalam sekitar 10 meter, dengan panjang sekitar 100 meter, diduga akibat proyek pembangunan tempat parkir bawah tanah dan pengembangan gedung rumah sakit. Meski dilaporkan tidak ada korban meninggal dunia dalam peristiwa hari Selasa (18/12) sekitar pukul 21.45 WIB, peristiwa ini menjadi peringatan serius mengenai keamanan pembangunan gedung dan infrastruktur di Surabaya.
Amblesnya jalan Gubeng di Surabaya sepanjang sekitar 100 meter dengan kedalaman lebih dari 10 meter, menjadi perhatian kepolisian untuk mencari tahu penyebabnya.
Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Luki Hermawan mengatakan, pihak kepolisian sedang melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pekerja yang ada di lokasi saat peristiwa terjadi. Luki menyebut ada temuan dan masukan pada bulan Februari mengenai indikasi adanya ancaman jalan ambles, dari rembesan air pada turap atau tanggul penahan.
“Dan ada beberapa temuan, masukan, karena di bulan Februari ini ada saran dan dari tim yang ini, bahwa pada saat menggali ground ini muncul air dari bulan Februari, yang seharusnya tidak keluar air. Sudah dilakukan beberapa langkah, ada lobang-lobang, namun ini kita akan nanti dalami lagi dengan saksi ahliya. Sementara itu keterangan dari tadi malam, bahwa sejak bulan Februari sudah ada masukan terkait dengan munculnya air di ground, di bawah,” kata Irjen Pol Luki Hermawan.
Pemerintah Kota Surabaya melalui Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana mengatakan, amblesnya jalan Gubeng diduga kuat akibat kesalahan manajemen konstruksi dari PT NKE selaku pelaksana proyek pengerjaan perluasan bangunan gedung rumah sakit.
Namun, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Surabaya, Agus Eko Supiadi mengatakan, secara umum tidak ada persoalan terkait analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) proyek itu, meski pihaknya tidak dapat menyebutkan penyebab jebolnya tanggul penahan sehingga jalan dan sejumlah lahan di sekitar proyek menjadi ambles.
“Di situ kan sudah ada, harus, begini-begini kan sudah ada, termasuk membuat tanggul supaya tidak longsor. Itu sudah dibuat. Cuma kalau jebol kenapa, kita tidak tahu, apa karena kekuatannya, atau karena alam, atau kemungkinan karena kurang bahan dan sebagainya, Dinas Cipta Karya yang tahu, karena itu sudah mulai masuk konstruksi,” jelas Agus Eko Supiadi.
Pejabat Fungsional Pembina Jasa Konstruksi, Dirjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Tri Indianto mengatakan, proses penggalian sebagai bagian dari proyek pembangunan merupakan hal yang sering dikhawatirkan, karena rawan menimbulkan longsor.
“Ini yang dikhawatirkan kalau proses pembangunannya, penggalian. Itu yang dikhawatirkan. Seperti penggalian ini. Ini kan menggali, dengan kedalaman yang cukup dalam. Nah, itu rawan longsor kalau memang kondisi tanahnya akibat hujan penuh dengan air bisa mendorong turap-turap yang sudah dibangun, yang konstruksinya mungkin tidak kuat menahan beban-beban itu,” jelas Tri Indianto.
Tri Indianto menekankan pentingnya mengutamakan keamanan dan keselamatan konstruksi (K3), dengan melakukan terlebih dahulu identifikasi kerawanan atau bahaya yang dapat timbul akibat proses pembangunan gedung maupun infrastruktur.
“Pembangunan itu kan harus dimulai dengan K3-nya, K3 itu penting untuk pembangunan konstruksi, jadi jangan sampai pembangunan itu melalaikan aspek keselamatan konstruksi. Jadi sebelum dibangun, harus diidentifikasi bahaya-bahaya yang akan timbul sebetulnya. Seperti penggalian, kalau penggalian dalam itu harus diperkirakan apakah rawan longsor, kalau ada rawan longsor penanganannya seperti apa,” lanjutnya. [*]
Sumber Berita dan Foto : VoA Indonesia