Pojok6.id (Peristiwa) – Jeritan warga Pohuwato yang menggema selama empat tahun terakhir akhirnya didengar, namun bukan oleh aparat kepolisian setempat yang mereka harapkan. Adalah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo yang merespons penderitaan rakyat, dengan langsung bertindak mengusut praktik Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang telah merusak hajat hidup orang banyak.
Selama ini, warga di sekitar lokasi tambang, khususnya di Kecamatan Buntulia, hidup dalam keputusasaan. Mereka menjerit karena air bersih dari PDAM kini berwarna cokelat pekat, tak layak konsumsi. Petani menjerit karena sawah dan kebun mereka terendam lumpur sisa galian, sumber penghidupan mereka musnah. Namun, semua jeritan itu hanya bertemu dengan tembok kebisuan dari Polres Pohuwato.
Polres Pohuwato memilih bungkam seribu bahasa. Laporan dari LAI, keluhan dari aktivis, hingga rintihan langsung dari masyarakat terdampak seolah tak mampu mengusik keheningan mereka. Sikap bungkam ini melahirkan tanda tanya besar: apakah mereka tidak mendengar, tidak peduli, atau sengaja membiarkan penderitaan warga demi kepentingan pihak lain?
Di tengah kebisuan yang menyesakkan itu, Kejati Gorontalo hadir membawa secercah harapan. Tanpa banyak retorika, mereka menerjunkan tim investigasi ke lapangan. Langkah konkret ini adalah jawaban yang paling ditunggu-tunggu oleh warga. Tindakan nyata lebih berharga dari seribu janji yang tak pernah ditepati.
Temuan tim Kejati di lokasi tambang milik Haji Suci seolah membuka kembali luka lama warga. Alat-alat berat yang terus meraung adalah musik kematian bagi lingkungan mereka, sebuah pemandangan yang anehnya tidak pernah terlihat oleh aparat lokal. Keberanian Kejati untuk masuk dan menginvestigasi menjadi penawar atas rasa frustrasi yang menumpuk.
Harson Ali dari LAI menyatakan bahwa langkah Kejati ini adalah kemenangan awal bagi masyarakat. “Ini membuktikan bahwa jika ada kemauan, penegakan hukum itu bisa berjalan. Selama ini kemauan itu yang tidak kami lihat di tingkat lokal,” tegasnya. Pernyataan ini secara telak menunjuk hidung Polres Pohuwato sebagai biang keladi kebuntuan hukum.
Sikap bungkam Polres Pohuwato adalah pengkhianatan terhadap amanah yang mereka emban untuk melindungi dan mengayomi masyarakat. Ketika warga menjerit meminta pertolongan, tugas utama mereka adalah bertindak, bukan berdiam diri. Kegagalan ini akan selamanya tercatat dalam memori kolektif masyarakat Pohuwato.
Kini, proses hukum berada di tangan Kejati, dan harapan warga kembali menyala. Mereka berharap agar tidak hanya pelaku utama yang diseret ke pengadilan, tetapi juga agar ada evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Polres Pohuwato yang telah membiarkan jeritan mereka tak terdengar selama bertahun-tahun.
