Pojok6.id (Opini) – Persoalan utama yang dihadapi oleh Provinsi Gorontalo di bidang ekonomi saat ini, yakni; kemiskinan dan ukuran (size) ekonomi yang masih kecil. Jika dilihat data series, angka kemiskinan sebetulnya terus mengalami penurunan sejak berdiri sendiri lepas dari Sulawesi Utara, data BPS menunjukkan di tahun 2002 angka kemiskinan mencapai 32,12 persen dan terus menurun sebesar 15,22 persen di tahun 2020. Artinya masing-masing pemerintahan setiap periode memiliki kontribusi menurunkan angka kemiskinan, akan tetapi kian hari penurunannya makin kecil.
Sekalipun terus menurun, faktanya Provinsi Gorontalo masih menempati urutan kelima secara nasional sebagai daerah miskin, namun jika dilihat dari nominal (jumlah) angka kemiskinan provinsi di Pulau Jawa masih lebih besar, misalnya Provinsi Jawa Barat mencapai 3,920,230 jiwa, Jawa Tengah 3,980,900 jiwa malahan Jawa Timur mencapai 4,419,100 jiwa bila dibandingkan angka kemiskinan Provinsi Gorontalo sebesar 185,200 jiwa, bahkan masih lebih rendah dari Provinsi Sulawesi Tengah. Hanya saja karena publikasi BPS yang kerap ditampilkan perhitungan berdasarkan prosentase, sehingga nampak kemiskinan Provinsi Gorontalo terhitung tinggi.
Provinsi Gorontalo telah memasuki dua dekade, tak dapat dipungkiri telah banyak kemajuan diraih, sarana dan prasarana makin lengkap, pembangunan infrastruktur untuk layanan dasar cukup tersedia. Namunpun demikian, jika dibandingkan secara apple to apple dengan provinsi hasil pemekaran terlihat ukuran ekonomi Gorontalo masih lebih kecil sumbangannya terhadap pulau maupun secara nasional.
Data BPS di tahun 2021 menunjukkan bahwa kontribusi ekonomi Gorontalo terhadap nasional baru mencapai 0,26 persen dan terhadap pulau sebesar 3,78 persen lebih rendah dari provinsi sepantaran, seperti Sulawesi Barat dan Maluku Utara.
Kondisi ini terbangun karena ketergantungan ekonomi Gorontalo begitu tinggi terhadap sektor pertanian, wajah ekonomi Gorontalo selama 20 tahun didominasi oleh sektor primer (pertanian) bahkan peranannya terus menanjak, di tahun 2001 sektor pertanian menyumbang sebesar 29,73 persen dan di tahun 2020 mencapai 38,80 persen. Dimana sektor pertanian tanaman pangan berkontribusi besar, dalam hal ini tanaman jagung dan padi, kedua jenis tanaman ini amat tergantung dari iklim (musim).
Bila menghadapi iklim ekstrem (perubahan cuaca) dapat berdampak terhadap penurunan produktivitas, bahkan gagal panen yang berdampak terhadap menurunnya pendapatan masyarakat. Sebagai sektor yang berkontribusi besar, bilamana terjadi perlambatan atau kontraksi pasti akan berdampak terhadap pertumbuhan PDRB, ini dibuktikan selama masa pandemi Covid-19 sektor pertanian tumbuh -1,61 sedangkan pertumbuhan PDRB terkontraksi -0,02 persen.
Mengatasi persoalan di atas, ada beberapa agenda yang perlu disusun kedepan dimana agenda-agenda tersebut memiliki forward linkage dan backward linkage. Agenda dimaksud diantaranya;
1) Penguatan sektor industri, produk-produk pertanian perlu diolah agar tercipta nilai tambah. Sehingga dengan sendirinya sektor industri akan bergerak sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, sektor industri yang identik dengan kegiatan ekonomi produktif kontribusinya hanya rata-rata 4 persen setiap tahun, menurun dibandingkan di tahun 2001 sebesar 10,58 persen.
Padahal sektor industri diharapkan terus tumbuh, untuk menandai terjadinya perubahan struktur ekonomi, yang akan menggeser struktur tenaga kerja ke sektor produktif, dan sebaliknya proses perubahan struktur ekonomi yang lemah mengakibatkan proporsi tenaga kerja di sektor pertanian menumpuk.
Data menunjukkan bahwa tenaga kerja pada lapangan usaha pertanian di tahun 2020 mencapai 32,25 persen, artinya beban sektor pertanian terlalu berat menampung tenaga kerja, dan sebagian diantaranya adalah petani penggarap, upahnya sangat rendah.
Untuk mengurangi beban tenaga kerja di sektor pertanian jalan keluarnya dengan mendorong peningkatan sektor industri lewat investasi swasta, agar supaya daya tarik investasi meningkat dibutuhkan kawasan industri yang terintegrasi dengan pelabuhan, infrastruktur penunjang, aksesibilitas, produktivitas tenaga kerja dinaikkan.
2) Selain penguatan sektor industri, sektor jasa perlu dikembangkan di Gorontalo yaitu jasa pendidikan dan kesehatan. Secara historis Gorontalo sejak dulu sudah menjadi daerah tujuan menempuh pendidikan, apalagi saat ini terdapat sekolah-sekolah unggulan, maupun perguruan tinggi makin banyak, dan perguruan tinggi negeri di Gorontalo seperti UNG makin pesat perkembangannya, termasuk IAIN. Sehingga dapat menjadi daya tarik meningkatnya minat melanjutkan pendidikan di Gorontalo khususnya yang berasal dari Kawasan Teluk Tomini. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu menciptakan ekosistem yang nyaman, lingkungan yang menunjang untuk kegiatan pendidikan.
Sementara jasa kesehatan, harapannya kedepan Gorontalo menjadi pusat rujukan regional untuk pengobatan, general ceck up maupun “life style” (perawatan, operasi kecantikan). Strateginya, rumah sakit – rumah sakit di Gorontalo perlu dibenahi, memiliki standar internasional serta diperlukan rumah sakit khusus.
Hal ini memungkinkan dengan dibukanya Fakultas Kedokteran UNG, sehingga tenaga kesehatan dan tenaga medis makin banyak di Gorontalo.
3) Program pemerintah perlu diperkuat di wilayah perdesaan karena angka kemiskinan lebih tinggi di wilayah perdesaan dan produktivitas tenaga kerja di desa terbilang rendah. Karena itu diperlukan peningkatan aksesibilitas kantong-kantong produksi sektor pertanian ke pasar, termasuk memperkuat akses jaringan internet untuk mendigitalisasi produk-produk pertanian.
Dalam konteks itu, diperlukan peningkatan mutu SDM di sektor pertanian dan melek teknologi informasi sehingga para pekerja disektor pertanian akan lebih mudah mengetahui perkembangan pasar. Strateginya, dengan menggandeng perguruan tinggi untuk melakukan pendampingan dan edukasi, jika skenario ini berjalan baik maka dengan sendirinya masyarakat dapat lebih berdaya tidak hanya mengandalkan bantuan (carity) dari pemerintah.
Selain mengembangkan sektor pertanian pangan, juga penting pekerja (petani) di sektor pertanian didorong keberdayaannya untuk beternak dan menanam tanaman jangka panjang sebagai sumber pendapatan alternatif, sekaligus dapat berfungsi sebagai tabungan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya.
4) Sektor lain itu yang perlu diperkuat adalah pariwisata, dimana sektor ini merupakan sektor yang memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor-sektor lainnya, disamping menyerap tenaga kerja banyak.
Di Gorontalo potensi pariwisata, khususnya wisata alam cukup banyak, seperti taman laut Olele di Bone Bolango, Pantai Biluhu di Gorontalo, Pulau Saronde dan Kepulauan Ponelo di Gorontalo Utara, Pulau Cinta dan Pantai Ratu di Boalemo maupun objek wisata alam lainnya yang tersebar diseluruh kabupaten di Gorontalo.
Pengelolaan sektor pariwisata ada tiga hal yang perlu diperkuat yang dikenal dengan 3 A, yakni –Atraksi, Aksesibilitas dan Amenitas–. Ketiganya perlu dibenahi, agar objek wisata di Gorontalo makin menarik. Agar layanan di sektor pariwisata lebih optimal, SDM sektor pariwisata juga perlu ditingkatkan, sadar wisata sangat penting diperkuat dikalangan masyarakat dengan menjaga kenyamanan, kebersihan, kualitas air, pelayanan yang ramah dan berkesan.
5) Mutu SDM dan tenaga kerja perlu terus dibenahi agar mereka para usia produktif siap menghadapi era disrupsi dan kompetisi yang makin ketat. Sekolah-sekolah vokasi perlu diperkuat dengan melakukan relevansi pembelajaran dengan struktur ekonomi daerah.
Selama ini sekolah vokasi yang ada di Gorontalo lebih banyak berorientasi jasa, sementara struktur ekonomi Gorontalo didominasi sektor pertanian.
6) Rencana pemindahan ibukota negara di Kalimantan Timur, sebetulnya dapat dimanfaatkan oleh Gorontalo untuk meraih peluang dengan adanya pengembangan pelabuhan Anggrek yang dapat menjadi pelabuhan fider untuk men-drive logistik atau komoditi yang dibutuhkan oleh Kalimantan Timur yang berasal (diproduksi) oleh daerah di Kawasan utara, seperti kebutuhan pangan yang selama ini banyak disuplai oleh Sulawesi Selatan.
Keberadaan bendungan Randangan untuk mengairi areal persawahan dapat menunjang peningkatan produksi pangan di Gorontalo, tantangannya selama pengolahan paska panen komiditi pangan masih sederhana yang berdampak terhadap kualitas yang dibutuhkan oleh pasar kelas menengah atas.
Setidaknya secara garis besar arah kebijakan ini kami meyakini dapat mengatasi persoalan pembangunan di Gorontalo kedepan, sekalipun ini bukan resep tunggal. Karena faktor non ekonomi juga turut berpengaruh mendorong kemajuan pembangunan, seperti sinergitas antar pemerintah disemua level, sinergitas antara pemerintah dan masyarakat maupun sinergitas antar tokoh politik untuk saling menunjang, bukan saling men-downgrade peranan untuk membangun Gorontalo. (**)