Skeptisisme Terhadap Pemerintah Adalah Suatu Kewajaran

Skeptisisme
Ilustrasi unjuk rasa. Foto: Aceh online

Pojok6.id () – Tahun yang cukup berat bagi pemerintah saat ini. Pada awal tahun saja peristiwa demi peristiwa krisis dihadapi oleh masyarakat. Kelangkaan minyak goreng, bahan pokok yang merangkak naik, hingga kenaikan harga pertamax sangat menyengsarakan masyarakat. Di era pandemi yang belum benar – benar berakhir, kenaikan harga kebutuhan pokok tentu membuat masyarakat sengsara. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah ibarat masyarakat Indonesia pada saat ini. Belum lagi dunia Internasional sedang memanas akibat invasi Rusia terhadap Ukraina yang akan berdampak bagi Indonesia kedepannya.

Banyak sudah peristiwa – peristiwa awal tahun yang terjadi di negara ini. Ekonomi maupun sosial semua menghadapi problematika. Kita ingat peristiwa di desa Wadas provinsi Jawa Tengah baru – baru ini dimana konflik agraria terjadi antara masyarakat desa dengan aparat. Peristiwa seperti ini bukan hanya 1 – 2 kali terjadi, sudah berpuluh – puluh kali konflik agraria terjadi di era presiden Jokowi. Sebagai mahasiswa sudah tentu kita turut prihatin dan mempunyai rasa “sense of crisis” atas apa yang terjadi di negara ini. Tidak dipungkiri lagi pemerintah hari ini sudah kekurangan prinsip “sense of crisis” terhadap masyarakat. Oligarki yang membabi buta telah menghilangkan rasa empati atas persoalan bangsa yang terjadi saat ini. Sudah saatnya sebuah protes dilayangkan kepada penguasa bahwasanya mereka gagal bernegara dan mensejahterakan rakyat.

Konflik agraria yang terjadi di desa Wadas tidak bisa ditolerir. Pemerintah yang semena – mena terhadap warga desa adalah hal yang sangat sukar di negara demokrasi seperti ini. Hak untuk hidup warga desa Wadas dikremasi dengan dalih pembangunan bendungan untuk kesejahteraan rakyat. Solusi dan konsekuensi yang diberikan oleh pemerintah kepada warga Wadas tentu sangat jauh dari kata Adil. Tentunya hal ini menjadi cerminan bahwa pemerintah saat ini hanya memprioritaskan kepentingan oligarki dan kelompok dibandingkan kepentingan orang banyak. Konflik desa Wadas telah menjadi perhatian publik di Indonesia dan tentu harus ada solusi untuk untuk konflik tersebut.

Read More

Harga minyak goreng yang belum stabil hingga saat ini tentu membuat rakyat menderita terutama ibu – ibu yang menjadi juru dapur di rumah. Minyak goreng telah menjadi bahan pokok sehari – hari dan tentunya dengan mahalnya harga minyak goreng terkesan bahwa pemerintah telah gagal menyediakan bahan pokok bagi rakyatnya. Kebijakan demi kebijakan telah dibuat oleh pemerintah untuk mengantisipasi kelangkaan minyak goreng ini namun belum berhasil dan terkesan bahwa kebijakan yang dibuat nihil. Maka dari itu sudah sepatutnya narasi – narasi yang tersebar di public bahwa pemerintah gagal memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya adalah suatu kewajaran dalam keresahan yang terjadi.

Hal yang harus dipahami oleh pemerintah terkait masalah harga dan kelangkaan minyak goreng ini ibarat mengobati luka di satu sisi yang dapat berpotensi memunculkan luka baru. Itulah kinerja pemerintah terkait hal ini. HET, B30 dan lain sebagainya tidak berdampak apa – apa terhadap problematika kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng.

Ibarat jatuh tertimpa tangga pula, peribahasa yang berkorelasi dengan kondisi masyarakat saat ini. bagaimana tidak, selain harga minyak goreng yang naik kebutuhan lainnya pun ikut naik. Minyak bumi, PPN, dan kebutuhan primer sekunder merangkak ikut naik pada awal April lalu. Tanpa adanya sosialisasi dan pernyataan mengenai alasan mengapa bahan – bahan pokok mengalami kenaikan harga secara tiba – tiba. Komunikasi pejabat yang terkait pun enggan dilaksanakan sehingga menimbulkan dampak kenaikan atau panic attack dikala memasuki bulan Ramadhan.

Selain problematika yang telah diuraikan, wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan 3 periode presiden muncul ditengah – tengah kesengsaraan rakyat Indonesia. Hal ini bermula ketika salah satu Menteri yang mendukung 3 periode dengan mengacu pada Big Data miliknya yang mengatakan bahwa 110 juta rakyat Indonesia setuju perpanjang jabatan presiden. Pernyataan tersebut membuat heboh publik media sosial dan mendesak untuk membuka data tersebut untuk memastikan kebenarannya. Hal yang tidak memiliki urgensi sama sekali dibandingkan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok dan konflik agrarian yang terjadi namun isu ini terus digoreng. Puncaknya ketika organisasi kepala desa a.k.a APDESI yang mengatakan bahwa akan melakukan deklarasi mendukung presiden 3 periode. Hal ini menjadi diskursus public bahwasanya isu ini akan menjadi kenyataan jika sudah ada mobilisasi massa yang akan mencederai demokrasi dikemudian hari.

Rakyat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya tentu menuntut presiden untuk menyatakan sikapnya mengenai hal inkonstitusional tersebut untuk menolak dan mengambil Langkah tegas terhadap orang yang menggoreng isu tersebut. Tentu saja tuntutan dari mahasiswa pada khususnya agar era reformasi saat ini bisa terjaga dan terawat dari kepentingan – kepentingan oligarki yang menginginkan penundaan pemilu maupun perpanjangan jabatan presiden.

atau keragu – raguan terhadap sikap presiden yang terstigma di masyarakat tentu merupakan suatu kewajaran. Hal ini dikarenakan rekam jejak beliau yang kebanyakan mengumbar janji saja namun realitas yang ada tidak sesuai dengan apa yang dikatakan. Kita ingat pada tahun 2021 kemarin salah satu organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di salah satu Universitas beken membuat pernyataan melalui media sosial yang berisi kompilasi gambar presiden Jokowi dengan tulisan “king of lip service” sebuah istilah bagi orang yang omongannya tidak sesuai dengan tindakannya. Dan uniknya banyak rakyat yang mendukung istilah tersebut dan menjadi diskursus public saat itu.

Pada awal April, mahasiswa dari berbagai kampus di seluruh Indonesia melakukan aksi demonstrasi dengan tuntutan salah satunya menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Mereka menuntut salah satunya presiden menyatakan sikap dengan tegas bahwa ia tidak akan mengamini isu atau wacana tersebut yang secara jelas inkonstitusional dan sangat merusak demokrasi yang diperjuangkan pada tahun 1998 serta menyetujui pemilu pada 14 februari tahun 2024. Hal ini tentu menjadi landasan bahwa skeptisisme masyarakat terhadap pemerintah sudah meluas. Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah telah mengalami degradasi dan tentunya ini menjadi PR besar bagi wakil rakyat yang ada di parlemen untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan saat ini. (**)

Related posts