Oleh : Funco Tanipu
Pojok6.id (Opini) – Daftar Calon Sementara DPR RI untuk Pemilu 2024 telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Khusus untuk daerah pemilihan Gorontalo, ada banyak tokoh yang pernah punya rekam jejak dan “nama besar” yang berderet untuk bertarung memperebutkan tiga kursi wakil Gorontalo di Senayan.
Sebutlah nama Rahmat Gobel, Rustam Akili, dan Winarni Monoarfa (Nasdem), Rusli Habibie, Roem Kono dan Idah Syahidah (Golkar), Elnino Mohi (Gerindra), Syarifudin Mosii dan Roni Sianturi (PDI P), Idris Rahim dan Forry Maway (PPP), Reyna Usman dan Norman Kamaru (PKB).
Bahwa ada juga nama-nama lain yang masuk dalam DCS DPR RI, namun dibandingkan deretan nama diatas, popularitas mereka masih kalah jauh. Bagaimanapun popularitas (keterkenalan) adalah modal dasar untuk kemudian disukai hingga dipilih. Pemilih tentu tak akan memilih yang tidak dikenal dan disukainya.
Pertanyaanya, dari sekian banyak deretan nama tokoh diatas, tetapi kenapa hanya Rusli Habibie (RH) versus Rahmat Gobel (RG) yang dianggap serius dalam kontestasi kali ini. Sebab, kontestasi keduanya semacam perang bintang politik lokal.
Walaupun kontestasi antar tokoh seperti ini pernah banyak terjadi di era silam, seperti Ahmad Pakaya vs Fadel Muhammad, Medi Botutihe vs Nurdin Monoarfa, Hasan Abas Nusi vs Achmad Nadjamudin dan banyak rivalitas seperti ini, tapi perjumpaan mereka tidak pernah dalam rivalitas terbuka untuk memperoleh dukungan suara rakyat melalui proses elektoral langsung. Kontestasi dengan model seperti ini baru pertama kali dalam sejarah politik Gorontalo, karena akan melibatkan ratusan ribu orang dengan mengerahkan segala instrumen dan sumber daya.
Kontestasi ini menjadi penting dan serius karena keduanya ditengarai menyimpan “dendam politik” sejak Pemilu 2019. Terlihat bagaimana narasi sengit yang dipertontokan oleh kedua belah pihak beserta pendukungnya di berbagai media. Termasuk bagaimana upaya mempertemukan keduanya oleh berbagai pihak, tapi hingga hari ini belum bertemu dalam konteks silaturrahmi.
Faktor “dendam” warisan pemilu 2019 diatas diikuti faktor-faktor tambahan yang ikut memperkeruh suasana, hingga menjadi alat timbang keduanya untuk saling menekan dan terkesan “menghabisi”.
Pertama, dari sisi marga, marga keduanya adalah marga populer, banyak yang menggunakannya, jaringan luas dan pernah jadi legenda, yakni Thayeb Gobel dan BJ Habibie. Nama kedua tokoh legenda tersebut yang menjadikan keduanya bisa seperti sekarang ini, tanpa campur tangan itu, keduanya pasti akan biasa-biasa saja. Nah, jika membahas soal marga dan leluhur, ini tidak sekedar membahas soal garis keturunan, ini soal harga diri, soal gengsi keluarga, soal wibawa. Nama keluarga dipertaruhkan. Istilah Gorontalo, penu de oputia lo tulalo, bo dila oputia lo baya. Terkait topik ini, bagi orang Gorontalo : jang sampe mo malu.
Kedua, RH pernah teruji secara elektoral pernah menjadi Gubernur dua periode, istrinya bahkan menduduki kursi di DPR RI setelah berhasil memepet perolehan suara RG. RG tak kalah, ia meraih suara sekitar 140 an ribu untuk ke DPR RI, bahkan menduduki kursi Wakil Ketua DPR RI. Sehingga, perjumpaan langsung ini menjadi ajang menunjukkan kekuatan keduanya.
Ketiga, dari sisi finansial, walaupun RG lebih tinggi jumlahnya, namun RH dikenal dengan “fighter” dan “jelas”. Dari banyak pembicaraan yang menjadi opini umum, RH dianggap publik lebih “jelas” dibanding RG kalo soal itu. Walaupun RG memiliki dalih tidak mau menggunakan metode ini demi martabat rakyat Gorontalo, dan memilih membantu rakyat dengan program mitra BUMN serta Kementrian, tapi faktanya faktor “harus jelas” dalam politik lokal masih menjadi salah satu faktor penting dalam memobilisasi suara.
Keempat, kontestasi pada Pemilu 2024 adalah penentu siapa yang akan “pensiun” dari politik lebih dahulu. Artinya, jika RH bisa menggondol suara sekitar 170 ribu hingga 200 ribu secara personal, apalagi jika ditambah “klaim” akumulasi suara Golkar bisa mencapai diatas 250 ribu maka keyakinannya untuk memajukan Idah Syaidah untuk maju Gubernur Gorontalo akan lebih kuat. Apalagi pada salah satu survey yang beredar di berbagai media, memposisikan Idah pada urutan pertama lalu diikuti RG. Demikian pula sebaliknya, jika “klaim” perolehan suara RG dan Nasdem seperti banyak yang diberitakan yakni bisa menggondol tiga kursi, maka tidak perlu RG yang harus maju Pilgub, dengan memajukan adiknya Abdullah Gobel saja ia dan Nasdem akan yakin meraih kursi Gubernur secara enteng. Jadi hipotesisnya, siapa yang rendah suaranya, maka legitimasinya akan rendah, dan harus mengubur hasrat di Pilgub nanti.
Kelima, faktor penting yang ikut mewarnai dinamika keduanya adalah lingkaran elit masing-masing pihak, yang tidak terlihat upaya membangun rajutan silaturrahmi antara RH dan RG. Lingkaran elit tersebut bisa berasal dari teman, keluarga dan termasuk pengurus masing-masing partai. Bahkan kedua belah pihak dalam berbagai rekaman media menunjukkan sikap emosional satu sama lain.
Tetapi, walaupun ada tiga kursi yang sedang diperebutkan, dan keduanya “dianggap” bisa memperoleh dua kursi itu “secara mudah”, tapi persoalan bukan soal itu saja. Ini sudah ditarik ke arah pertarungan harga diri dan marwah, baik marga hingga leluhur, termasuk eksistensi partai masing-masing. Karena ini soal suara siapa yang diatas, apakah perolehan suara RG diatas RH atau bahkan sebaliknya. Selain karena “harga diri politik”, ini terkait peluang politik selanjutnya, apakah jika dengan perolehan suara RH lebih tinggi dibanding RG akan memuluskan Idah menjadi Gubernur atau kemudian perolehan suara RG, berapapun angkanya, tetap akan memaksakan dirinya maju ke Pilgub 2024 nanti? Atau mungkin jika RG lebih tinggi daripada RH, maka akan membenamkan cita-cita RH menggubernurkan Idah kandas sebelum waktunya.
Walaupun beberapa fakta yang kemungkinan terjadi akan berbanding terbalik dengan penguatan demokrasi seperti politik uang, kampanye hitam, penyebaran hoax, dan hal-hal negatif, tapi karena “syahwat” yang begitu tinggi, maka apapun itu bisa jadi semua peluang (walaupun negatif) akan ditempuh.
Persoalannya, apakah kontestasi keduanya diikuti oleh pertarungan gagasan dan ide untuk memperbaiki Gorontalo, apakah nanti ada narasi yang lebih menarik pemilih atau diduga masih pada metode “transaksional”?
Bagaimana pula posisi tiap kepala daerah dalam kontestasi ini, problemnya RH tidak lagi akan mendapat “pasokan” dukungan dua kepala daerah Golkar seperti Thariq Modanggu sebagai Bupati Gorut karena akan mengakhiri periode pada 6 Desember 2023. Begitu pula Walikota Marten Taha yang akan mengakhiri masa jabatan pada Desember tahun ini. Tinggal berharap pada Hendra Hemeto (Wakil Bupati Gorontalo) dan Suharsi Igirisa (Wakil Bupati Pohuwato), namun “power” Wakil Kepala Daerah tentu tidak akan seprima Kepala Daerah.
Demikian pula RG, apakah performancenya seperti Pemilu 2019 silam atau bahkan lebih tinggi? Karena “high-performance” RG pada Pemilu 2019 silam ditengarai karena memiliki banyak “instrumen penunjang”. Berbeda dengan jelang Pemilu 2024 kini, apakah RG masih bisa meraih suara maksimal di Pohuwato yang kini Bupatinya adalah Gerindra dan kemungkinan akan mendukung Elnino?. Demikian pula apakah perolehan suara RG di 2019 di Kabupaten Gorontalo yang sekitar 40 ribuan bisa stabil? Sebab, Bupati Gorontalo yang PPP pasti akan memobilisasi suara untuk istrinya yang berada pada nomor urut pertama PPP. Begitu pula basis RG di Bone Bolango “sepeninggal” Hamim, apakah Merlan Uloli bisa diharapkan melakukan “konsolidasi” untuk mempertahankan 30 ribuan suara itu dalam lima bulan?
Perlu diingat pula, pada Februari 2024 nanti, akan ada tiga daerah yang akan dan telah dijabat oleh Penjabat yakni Boalemo, Gorontalo Utara dan Kota Gorontalo. Pengisian itu sedikitnya akan ditentukan oleh Penjabat Gubernur Ismail Pakaya. Pertanyaannya, apakah Penjabat Gubernur Gorontalo memilih “independen” dan “netral” sebagaimana tugas dan fungsi normatifnya? Atau malah akan terbawa arus partai yang “mendukungnya” menjadi Penjabat Gubernur? Atau kemudian, ia mulai digoda oleh sebagian kecil orang untuk ikut kontestasi Pilgub nanti, hingga harus memobilisasi dukungan pada “arah tertentu” di Pemilu 2024 nanti? Pilihan-pilihan ada padanya, pada pundak Ismail Pakaya. Apapun keputusannya, akan ada resiko serius sebagaimana terjadi pada Penjabat sebelumnya, kecuali ia normatif dan “tegak lurus” pada tupoksi dasarnya sebagai birokrat.
Kembali pada narasi sebelumnya, kontestasi RG vs RH akan bisa menjadi menarik dan positif jika kedua pihak mulai menggarap dengan serius 1). Gagasan untuk Gorontalo akan datang perlu disusun lebih cermat, misal bagaimana langkah sebagai anggota DPR RI bisa “membawa” anggaran yang itu bisa masuk dan terhitung dalam pendapatan di APBD Provinsi dan Kab/Kota, seperti DAK. 2). Problem infrastruktur perlu upaya serius untuk disupport APBN, nah bagaimana seorang anggota DPR RI bisa memperjuangkan itu dan berapa angka yang diperjuangkan itu. 3). Bagaimana pula mensiasati pembiayaan untuk sektor informal dan UMKM/Koperasi melalui mitra-mitra Komisi, berapa target dan berapa yang harus dicari? 4). Dalam dokumen RPJMN hingga secara detail Proyek Strategis Nasional, apakah ada tema dan rencana proyek strategis yang akan diusulkan untuk Gorontalo dan termasuk memastikan hal tersebut melalui APBN. 5). Terkait posisi Gorontalo yang berada di WPP 715 dan 716 dan posisi Gorontalo sebagai buffer zone IKN serta BIMP EAGA, apa isu dan proyek strategis kewilayahan yang bisa “dibawa” ke Gorontalo, dan diintervensi melalui APBN? 6). Bagaimana pula sebagai anggota DPR RI bisa mengusulkan, mengawal dan memastikan beberapa kawasan di Gorontalo bisa ditetapkan sebagai kawasan strategis apakah berbasis perdesaan (KPPN), KSN, KEK termasuk geopark yang kesemuanya mesti melandaskan pada green sustainability dan climate change adaption. Hingga banyak isu dan topik yang bisa dibedah dengan serius yang pada intinya bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat Gorontalo secara umum. Pada isu dan narasi diatas, tentu tidak akan terwujud jika anggota DPR terpilih nanti terkesan menjauhi Pemda bahkan memusuhi, termasuk dengan institusi-institusi perguruan tinggi yang ada di Gorontalo. Sebab, bagaimanapun usulan-usulan teknis tersebut berasal dari Pemda yang itu harus dikonsolidasi dengan institusi perguruan tinggi. Hingga pada implementasinya, tetap Pemda yang akan menjadi pihak terkait penjabaran program tersebut.
Walaupun narasi dan gagasan seperti paragraf sebelumnya adalah kebutuhan daerah, namun hanya sedikit kalangan yang akan merespon narasi demikian, lebih suka pada wacana yang bersifat “low-politics”. Tetapi sebagai tokoh yang menjadi harapan Gorontalo, keduanya wajib mendahulukan narasi kemajuan Gorontalo dibandingkan yang tersier lainnya, karena rakyat juga butuh diajak tahu soal bagaimana pembangunan nasional, regional dan daerah.
Keduanya kini berusia diatas 60, tentu rentang usia ini adalah usia pengabdian, periode berbakti untuk daerah. Dan bisa saja, Pemilu 2024 adalah kontestasi terakhir mereka berdua. Kita akan sulit menyaksikan kontestasi seperti ini terulang lagi. Oleh karena itu, keduanya mesti memastikan apakah kontestasi ini akan diwariskan kepada generasi masa depan sebagai kontestasi yang paling memuakkan sepanjang sejarah Gorontalo, atau membalik persepsi umum menjadi kontestasi periode emas Gorontalo, ada gagasan, ide, kecemerlangan pikiran hingga ikhtiar tulus membangun Gorontalo. Pilihan ada pada keduanya, apakah akan mengikuti arus opini seperti yang telah terurai pada awal tulisan ini, ataukah akan membalikkan persepsi yang selama ini beredar dari mulut ke mulut? Seperti posisi dan resiko Ismail Pakaya sebagai Penjabat Gubernur yang saya gambarkan diatas, setiap pilihan ada resikonya, dan dari setiap resiko akan ada kolam air mata kekecewaan di akhir, yang pada titik akhir itu, air mata dan kekecewaan bukanlah sesuatu yang berarti untuk kemaslahatan banyak orang.