Pojok6.id (Gorontalo) – Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui Kepala Biro Hukum Moh. Trizal Entengo, mengatakan butuh waktu untuk menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) soal pembayaran ganti rugi lahan bandar udara (Bandara) Djalaluddin Tantu. Pada prinsipnya pemprov menghormati putusan MA dan siap menjalankannya, namun butuh waktu dan kehati hatian melakukan pembayaran agar tidak menyelesaikan masalah dengan masalah baru.
“Kemarin Pak Gubernur sudah menyampaikan kita berkomitmen untuk melaksanakan isi putusan, kalau memang membayar klta harus bayar. Perlu saya jelaskan bahwa putusan Mahkamah Agung itu dalam salah satu amar menghukum para tergugat untuk membayar kerugian materiil kepada penggugat berdasarkan perhitungan Tim Pembebasan Tanah,” jelas Trizal.
Putusan MA tersebut memperbaiki amar putusan PN dan putusan banding PT dari yang sebelumnya perintah kepada pemprov dan bandara untuk menyerahkan obyek sengketa kepada pengugat, menjadi mengganti kerugian. Keputusan itu memastikan operasional bandara dalam melayani penerbangan dari dan ke Gorontalo tidak akan terganggu.
Lebih lanjut katanya, ada banyak hal yang memerlukan penjelasan dan penegasan dalam melaksanakan isi putusan MA tersebut. Soal pembentukan Tim Pembebasan Lahan, apakah menggunakan panitia pembebasan yg lama (tahun 2010, saat pembebasan lahan sebelumnya) atau dibentuk baru.
Jika membentuk panitia baru, instansi yang nanti membentuknya siapa, berhubung ada dua instansi yang menjadi tergugat. Pelaksanaannya pun harus mengacu pada UU No 1 Tahun 2012 dan PP 19 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Regulasi yang mengatur mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan.
Apalagi proses pembayaran ganti kerugian tersebut harus dilakukan oleh dua belah pihak yakni pemprov dan bandara, sehingga tidak bisa hanya pemprov sendiri yang menjalankan prosesnya. Itu semua diperlukan untuk menentukan berapa nilai tanah yang harus dibayar dan nanti penganggarannya pada APBN atau APBD.
“Kami belum memperoleh penjelasan dan penegasan dari PN saat kami menghadap Ketua PN Limboto atau pada saat Aanmaning lalu. Oleh karenanya kami masih membutuhkan pendapat atau penjelasan dari instansi yang berwenang”.
“Hal-hal ini yang kami perlukan, agar pemprov tidak terjerat pada persoalan hukum baru lagi. Seandainya pada putusan dijelaskan bahwa ada nilai yang harus dibayar maka bisa jadi kita tinggal menganggarkan, berapa jadi tanggungan pemprov, berapa tanggungan bandara. Persoalannya, dalam pembebasan lahan kita tidak bisa serta merta menentukan nilainya dan melakukan pembayaran,” bebernya.
Dalam proses Aanmaning di PN Limboto yang lalu, pihak penggugat meminta agar tanah sengketa seluas 7448 meter persegi itu dihargai Rp4 juta per meternya. Permintaan itu tidak bisa serta merta dipenuhi karena ada aturan yang harus dipatuhi.
Diakhir penyampaiannya, Trizal menegaskan bahwa sengketa lahan bandara menjadi prioritas dan perhatian serius Pemprov Gorontalo. Pemprov menghormati Putusan MA dan berharap pihak penggugat untuk memaklumi langkah yang diambil pemerintah.
Perlu diketahui, sengketa lahan di Kawasan Bandara DJalaludin itu awalnya sudah dilakukan pembebasan pada tahun 2010 dengan total luas lahan sebesar 82.510 meter. Waktu itu pemprov merogoh kocek sekitar Rp1,5 miliar atau dirata-rata Rp18.000 per meternya. Belakang ada pihak yang melakukan gugatan dan menang hingga ke MA. (adv)