Pertunjukan Shakespeare Andalkan Teknologi Video Game Canggih

Shakespeare
Dream, pertunjukan live online baru, kerjasama RSC dengan Manchester International Festival, MARSHMALLOW LASER FEAST dan Philharmonia Orchestra. Dalam foto: EM Williams. (Foto: Stuart Martin / Royal Shakespeare Company)

SENI – “Dream”, begitu nama pertunjukan yang satu ini, diinspirasikan oleh drama komedi “A Midsummer Night’s “Dream”” karya William Shakespeare. Berbeda dengan karya-karya sebelumnya, produksi Royal Company (RSC) terbaru ini lebih mengandalkan teknologi video game tiga dimensi ketimbang tata panggung yang apik dan memukau.

Rumah produksi yang kerap menghasilkan drama-drama panggung berkualitas ini terpaksa melakukan hal tersebut karena pentas mereka kali ini digelar sepenuhnya secara online, dan bukan di atas panggung seperti biasanya. Dengan bantuan teknologi canggih, rumah produksi ini ingin membawa para penonton seolah menerobos masuk hutan misterius yang menjadi bagian dari cerita “Dream”.

“Dream” pada intinya bercerita tentang hutan yang dihuni sejumlah peri. Produksinya sangat mengandalkan teknologi yang biasanya ditemukan di video game online populer Fortnite ketimbang drama-drama panggung Shakespeare.

Read More

Pippa Hill, kepala divisi sastra Royal Shakespeare Company, menceritakan bagaimana pertunjukan itu dibuat. “Kami menggunakan karakter-karakter dari drama tersebut. Kami mengambil beberapa percakapan yang muncul dalam drama tersebut, dan kami membuat cerita baru. Saya kira penulis drama radikal (William Shakespeare, red) pasti menyetujui adaptasi ini.”

“Dream” pada awalnya akan mulai diperkenalkan pada musim semi 2020 sebagai pertunjukan langsung dan pertunjukan online. Namun karena pandemi, pertunjukan sepanjang 50 menit itu telah dibuat ulang dan dikhususkan untuk para penonton online.

Dibuat dalam setting hutan pada pertengahan musim panas, para pemeran memainkan tokoh-tokoh peri digital yang memandu penonton menempuh perjalanan yang luar biasa menembus hutan.

Untuk menerjemahkan penampilan fisik mereka secara langsung ke dalam avatar virtual, tujuh pemeran pertunjukan tersebut memanfaatkan teknologi tangkap gerak canggih. Gerakan mereka kemudian direkam oleh kamera-kamera yang tersebar di sekitar ruang pertunjukan seluas 7×7 meter.

Permainan akting mereka dipadukan dengan animasi-animasi yang telah direkam sebelumnya. Para penonton dapat menyaksikannya di ponsel, tablet, dan komputer desktop.

Maggie Bain yang memerankan tokoh Cobweb dalam pertunjukan itu, mensyukuri bahwa kemajuan teknologi membuatnya tetap dapat bekerja dan berpentas semasa pandemi.

“Ada banyak hal yang ditawarkan teknologi kepada kita yang harus kita pelajari. Ini adalah cara menyampaikan cerita kepada penonton kami dengan media yang sangat berbeda dengan media yang biasa kami gunakan,” jelas Maggie.

Pertunjukan berteknologi tinggi ini, yang sebetulnya sedang dalam pengembangan sebelum pandemi melanda, memungkinkan Royal Shakespeare Company menjangkau para penontonnya dalam masa lockdown.

Inggris telah menghabiskan sebagian besar musim dinginnya dengan memberlakukan lockdown. Teater, ruang konser, galeri seni, museum, dan bioskop harus ditutup. Portsmouth’s Guildhall, gedung konser tempat pertunjukan online ini digarap, telah ditutup sejak 19 Desember.

Royal Shakespeare Company berharap, pertunjukan “Dream” yang sepenuhnya virtual dapat menjangkau para penonton di luar negeri, atau paling tidak mereka yang tidak bisa pergi ke London atau Stratford-upon-Avon, tempat RSC berkantor pusat dan menggelar karya-karyanya.

“Dream” digelar 12 hingga 20 Maret, namun bukan tidak mungkin pertunjukan itu akan diperpanjang masa pentasnya. [**]

Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia

Related posts