Oleh: Ismail Sam Giu, S.Sos, M.I.Kom (Fungsional Pranata Humas Ahli Muda di Dinas Kominfo dan Statistik Pemprov Gorontalo)
Pojok6.id (Opini) – Tujuh tahun sudah pemerintah pusat melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI menggaungkan narasi tunggal pemerintah. Narasi tunggal bisa kita tafsirkan sebagai nation branding untuk meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan dan masyarakat terhadap pemerintah. Hal itu diseriusi melalui Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2015.
Inti dari Inpres tersebut diantaranya Kementrian Kominfo menjadi koordinator perencanaan, penyiapan dan pelaksanaan komunikasi publik serta menyusun narasi tunggal terkait kebijakan dan program pemerintah sesuai dengan arahan Presiden. Inpres juga memerintahkan agar seluruh badan publik baik kementerian dan non kementrian untuk menyerahkan data dan informasinya kepada Kominfo untuk diolah menjadi narasi tunggal. Selanjutnya, Kementrian Kominfo berwenang untuk menyebarluaskan narasi tunggal tersebut kepada publik melalui berbagai kanal.
Agar pembahasan ini lebih fokus, penulis ingin mengajak pembaca yang budiman untuk menakar sejauh mana kebijakan tersebut berjalan efektif melalui prespektif teori komunikasi. Salah satu teori komunikasi yang paling popular dikemukakan oleh Harold Lasswell yakni Communication is who say what in witch channel to whom with what effect – Komunikasi adalah siapa berkata apa melalui saluran apa kepada siapa dengan dampak apa.
Jika merujuk teori Lasswell tadi, maka ada lima unsur yang akan kita bahas. Siapa komunikatornya (pemberi pesan), berkata apa (pesannya), saluran apa (media apa), kepada siapa (penerima pesan; khalayak/masyarakat) dan terakhir dampaknya seperti apa.
Komunikator dalam konteks narasi tunggal pemerintah dimainkan oleh Kementrian Kominfo. Kementrian itu menjadi konduktor nyaring tidaknya suara pemerintah di benak publik. Kondisi ini tentu saja berat di tengah kompleksitas urusan pemerintahan yang tersebar di berbagai kementrian/lembaga. Belum lagi soal ego sektoral kementrian/lembaga atau menteri menterinya.
Sebagai konduktor suara pemerintah, Kementrian Kominfo belum secara masif melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menyukseskan narasi tunggal. Ini berkaitan dengan penggunaan media sebagai wadah meneruskan pesan. Padahal di era sekarang, hampir semua pemerintah daerah punya platform penyebarluasan informasi baik dikelola secara internal melalui tv lokal, radio lokal, website pemerintah dan akun media sosialnya. Belum lagi ditambah dengan puluhan media yang bekerjasama dengan Dinas Kominfo (atau sebutan lainnya) di tiap daerah.
Dalam prespektif komunikasi, pemilihan media yang tepat menjadi kunci terterimanya pesan yang ingin kita sampaikan. Pemerintah pusat sepertinya masih senang menjadikan “media konvensional nasional” sebagai pembawa pesan. Hal itu tentu tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar.
Tidak salah karena media konvensional berlabel nasional sudah lama eksis dan menjangkau semua daerah. Tidak sepenuhnya benar karena ukuran efektivitasnya menjadi samar di era arus informasi yang kian deras dan dinamis seperti sekarang.
Berapa banyak yang menonton televisi berjam jam hanya untuk melihat narasi tunggal pemerintah? Bukankah selama ini kita lebih banyak tau narasi pemerintah melalui media daring atau unggahan di media sosial? Bagaimana harga iklannya yang dibanderol ratusan juta per menit? Belum lagi paradigma konvensional media yang bad news is a good news. Berita pemerintah yang biasa saja tidak menarik selain berita yang buruk. Kira kira begitu asumsinya.
Mengandalkan media internal Kementrian Kominfo pada sisi yang lain, pun rasa rasanya belum cukup. Misalnya merujuk pada akun Instagram Kementrian Kominfo yang “hanya” 1,2 Juta pengikut. Jumlah itu akan berkali kali lipat jika ditambah dengan misalnya akun Pemprov DKI Jakarta 643 ribu, Pemprov Jawa Timur 244 ribu dan Pemprov Jawa Tengah 102 ribu pengikut. Belum bicara soal akun media sosial yang lain, termasuk kepala daerah yang pengikutnya menyaingi artis artis papan atas.
Salah satu celah yang bisa dimanfaatkan Kementrian Kominfo RI melalui kolaborasi dengan Dinas Kominfo di daerah. Kolaborasi ini sepertinya belum digarap dengan baik. Konsep kemitraan dan kolaborasi melalui perencanaan, pembinaan, pelaksanaan, pendampingan dan evaluasi belum nampak jelas. Padahal secara tugas dan fungsi, Dinas Kominfo di daerah mengemban sub urusan wajib pemerintah: pengelolaan informasi dan komunikasi publik.
Kita sebagai orang daerah, belum dipaksa berkontribusi untuk mensukseskan narasi tunggal pemerintah pusat. Ukurannya belum ada, selain iming iming angka kredit bagi pejabat fungsional pranata humas. Kepala dinasnya belum diajak duduk dan bicara bersama, mana hak dan kewajiban para pihak. Di sisi lain, Dinas Kominfo di daerah sibuk dengan tugas tugas lokal: narsisme kepala daerah hingga penyebarluasan informasi pemerintah daerah.
Potret sederhana dari kondisi tersebut bisa dilihat dari narasi tunggal tentang pelaksanaan Presidensi G20. Berapa banyak website pemerintah daerah yang mempublikasikan soal ini? Berapa banyak konten media sosial di daerah menggunakan simbol ini? pada gilirannya opini dan pemahaman masyarakat di daerah tentang narasi ini menjadi rendah.
Berikutnya tentang karakteristik penerima pesan atau lazim disebut khalayak. Jakarta mungkin lupa bahwa karakteristik masyarakat Indonesia sangat heterogen. Isu presidensi G20 tidak lebih penting di mata warga Gorontalo dibandingkan isu harga bawang merah yang melonjak. Jalan tol di Jakarta tidak ada artinya dibandingkan ancaman separtasime bagi warga di Papua. Itulah kenapa setiap narasi tunggal pemerintah pusat tidak bisa dipaksakan di media konvensional berbasis di Jakarta. Cara pandang dan penerimaan kita akan berbeda.
Di tengah kompleksitas tersebut maka perlu adanya pemilihan media yang tepat dengan proximity kedaerahan yang jelas. Media daerah dengan konten kearifan lokalnya akan lebih efektif untuk menyisipkan pesan pemerintah pusat.
Isu Jakarta tentang presiden G20 bisa diperkenalkan ke Aceh jika kita bisa memanfaatkan media setempat dengan aktor aktor lokalnya. Katakanlah gubernur atau bupati / wali kota setempat sebagai pembicaranya. Dalam konteks lebih sederhana, unggahan media sosial dengan konten lokal bisa dibalut pesan narasi tunggal.
Kita perlu memikirkan alur kolaborasi antara Kementrian Kominfo RI dengan Dinas Kominfo provinsi dan kabupaten kota untuk distribusi dan pertukaran konten pemerintah. Pada kondisi tertentu, Kementrian Kominfo bisa mengintervensi daerah untuk mempublikasikan narasi tunggalnya. Semuanya terpantau dan terukur dengan baik. Lebih penting lagi, anggarannya akan sangat minimalis. Masing masing bergerak sesuai alokasi anggaran di daerahnya.
Kementrian Kominfo tidak bisa lagi menjadi sumber mata air seperti hujan. Volume airnya besar, menjangkau semua daerah tapi tidak tertampung di ember rumah warga. Hujan yang terbuang sia sia – yang dalam kondisi tertentu – dihindari oleh pejalan kaki dan pesepeda motor. Kementrian Kominfo harus menjadi mata air puncak pegunungan dengan Dinas Kominfo daerah menjadi pipa pipa air di bawahnya. Pesannya punya saluran yang banyak, menjangkau ke semua daerah dan bisa terterima oleh lebih banyak orang.
Efek dari keseluruhan proses komunikasi tadi bisa kita ukur dengan indeks Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Publik (PIKP). Kementrian Kominfo pada 31 Januari 2022 merilis indeks PIKP tahun 2021. Ada empat aspek besar yang dinilai yakni input, proses, output dan outcome. Hasilnya, indeks PIKP 2021 lebih rendah dari indeks PIKP tahun 2019 khususnya untuk dua aspek penting yakni output dan outcome.
Output dengan total indeks 61,2 lebih rendah dari tahun 2019 sebesar 68,9. Output diurai dari aspek agenda publik dan kepuasan masing masing memperoleh poin 70,5 dan 51,9. Agenda publik lebih tinggi dari tahun 2019 sebesar 65,1 namun kepuasan menjadi rendah dari 2019 sebesar 72,7.
Aspek outcome tidak kalah buruknya dengan indeks 52,4 dibandingkan tahun 2019 sebesar 65,8. Outcome diurai dari tiga aspek yakni hak publik untuk tau 55,5 dibandingkan tahun 2019 sebesar 65,7, partisipasi publik 49,3 dibandingkan tahun 2019 65,9 serta keadilan informasi 66,4. Keadilan informasi tidak diukur pada survei indeks tahun 2019.