Pojok6.id (UNG) – Apapun itu, termasuk manusia, adalah sesuatu yang terbatas, sekaligus dibatasi. Tentang batas, ketidaksempurnaan adalah pula kelemahan dan juga kekurangan. Hal itu telah ditetapkan secara normatif dalam aturan-aturan yang termaktubkan dalam hukum alam.
Misalnya soal kecepatan berlari, walaupun seorang runners berlatih tiap hari, dengan segala perangkat olahraga yang keren seperti jam tangan merek Garmin, sepatu Nike terbaru, kaos dan celana yang membuat fleksibel tetap akan ada saatnya ia memegang lutut sambil kesulitan bernafas jika ia melampaui batas kemampuannya.
Demikian pula soal makan, walaupun enaknya seperti apa makanan yang ia akan santap, dan betapa laparnya dirinya, tetapi selalu akan ada batas ia makan sebanyak apapun.
Juga soal keinginan masuk pegawai negeri, atau katakanlah ujian mahasiswa di seleksi perguruan tinggi negeri, selalu ada batas kemampuan seseorang untuk menjawab tes ujian. Seberapa keras pun dia berlatih.
Atau, ada yang banting tulang, memeras keringat, bekerja keras untuk mengumpulkan uang, selalu ada batas dirinya untuk itu. Ia pasti dibatasi oleh ngantuk, lelah, dan juga rintangan lainnya. Ada yang membatasi keinginannnya.
Setiap orang, pada setiap apa yang ia upayakan, akan selalu berurusan dengan batas, apakah itu fisik atau mental. Tak mudah bagi seseorang untuk mencapainya, apalagi jika ia memang sedari awal membatasi sendiri kemampuannya, walaupun ia masih mampu untuk terus maju.
Tetapi, di antara banyak yang menyerah pada nasib, capek mengejar cita-cita, dan berhenti sebelum sukses, selalu ada orang yang terus menaklukkan rintangan, melompati rintangan, melampaui batas kemampuan, hingga semangatnya seperti tak pernah padam. Ia terus bergerak, walaupun tak cepat, tapi ia terus teguh mencapai apa yang dia cita-citakan.
Hingga orang-orang yang mampu melewati batas adalah orang yang kadang kita remehkan, tak terpikirkan sebelumnya, tak terbayangkan.
Mereka-mereka itulah yang mengejar dan melampaui batas tidak saja dengan fisik, bukan hanya mengagungkan akal semata. Mereka dipandu oleh hati mereka yang begitu kuat dan teguh melampaui batas kemampuan mereka.
Di Gorontalo, hal itu disebut dengan modelo hilawo. Arti sederhanannya membawa hati. Secara lebih luas artinya sudah tidak ada kemampuan diri, hanya tinggal memperhadapkan hati pada pemillikNya untuk dapat diberi pertolongan.
Modelo hilawo bisa disebut membawa hati menujuNya, tanpa ada lagi sifat merasa mampu apalagi merasa diri. Modelo hilawo adalah peleburan padaNya, tak ada lagi yang disebut dengan “aku”. Sehingga, spirit itulah yang telah memaksa dan memandu fisik serta mental untuk melalukan hal-hal yang melampaui batas diri, karena ia memang tidak mampu, tapi dimampukanNya.
Pada titik itulah, banyak yang kita saksikan contoh-contoh kesuksesan, walaupun kecil dimata kita, tetapi bisa jadi luar biasa bagi yang telah berupaya memasrahkan diri dengan “modelo hilawo”.
Modelo hilawo telah melampaui batas fisik, batas mental dan termasuk batas finansial. Yang ada hanya permohonan untuk mendapat pertolongan.
Bagi orang Gorontalo di masa silam, keakuan adalah penyakit fatal. Berbeda dengan kita yang berada di masa kini yang selalu memiliki landasan : “kalo bukan saya”, “untung ada kita”, “ngga ngana tau kasana, kalo bukan kita yang turun tangan, tidak selesai itu”, dan “kalo bukan karena kita so S2 atau so S3 atau so Profesor, tidak jadi ini dan itu.”. Seakan-akan dia mau mendeklarasikan itu karenanya, bukan karenaNya.
Prinsip sekaligus tindakan “modelo hilawo” adalah tindakan yang terus berupaya untuk mengerti dan memahami soal batas manusia.
Tapi, bahwa yang telah modelo hilawo tidak berarti tidak luput dari kesalahan, sebab setiap tindakan selalu dinamis, ada turun naik. Kadang bagus-bagusnya, sering tidak tahu diri. Dan pada dinamika kehidupan yang turun naik itu, selalu ada resiko yang senantiasa mengiringi.
Pertanyaanya, bagaimana melakukan transformasi prinsip modelo hilawo dalam agenda-agenda yang bersifat publik? Kita semua tahu bahwa hari ini, daerah dan juga bangsa mengalami pasang surut pertumbuhan, upaya memperbaiki peradaban semakin tak karuan.
Hampir semua menginginkan cepat sejahtera, cepat kaya, ingin dapat segera bagian, ingin segera tumbuh dengan cepat. Banyak yang memanfaatkan posisi hanya untuk dirinya, untuk naik ke posisi yang lebih tinggi. Tanpa memikirkan urusan kemaslahatan.
Karena itu, situasi yang mencekam ini membutuhkan sikap diluar kebiasaan. Daerah, termasuk bangsa, membutuhkan sikap modelo hilawo yang kolektif. Tak sekedar personal. Sikap itu yang mesti diterjemahkan dalam instrumen kebijakan dari makro hingga mikro.
Modelo hilawo bisa dijadikan dasar menaikkan kinerja, sebab kinerja selama ini dituntun oleh sesuatu yang materiil seperti renumerasi, tunjangan kinerja, bonus, kredit poin hingga gaji-gaji baik 13 dan 14. Secara umum hal itu baik untuk menjaga semangat, tapi cara begitu semacam “beli-putus”. Upaya dan kinerja A maka dibayar dengan bonus atau tunjangan A. Mirip pabrik.
Modelo hilawo dalam konteks ini adalah spirit yang melampaui instrumen materiil tadi. Bekerja dan hingga berkinerja tidak semata karena alasan tunjangan dan renumerasi atau insentif, tapi melampaui itu.
Tentu hal ini bukan hal yang mudan untuk tidak mengatakan sulit, tapi itu adalah hal yang memungkinkan. Menjadi salah satu jalan keluar untuk memperbaiki keadaan.
Ditulis oleh Dosen Sosiologi FIS UNG, Funco Tanipu