Yogyakarta – Para mahasiswa Fisipol UGM, dosen maupun mahasiswa dari perguruan tinggi lain Kamis siang (8/11/18) melakukan aksi solidaritas, menuntut keadilan bagi Agni (nama samaran yang berarti api) mahasiswi Fisipol korban pelecehan seksual oleh mahasiswa Teknik UGM ketika melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Maluku pada Juni 2017.
Peserta aksi membunyikan kentongan yang artinya sedang dalam suasana bahaya, dan menyampaikan sembilan butir tuntutan keadilan bagi Agni.
“Kami menuntut pihak Universitas Gajah Mada untuk, satu: memberikan pernyataan publik bahwa yang mengakui bahwa terjadi tindak pelecehn dan kekerasan seksual dalam bentuk apapun terlebih pemerkosaan termasuk pelanggaran berat. Dua: mengeluarkan atau memidanakan civitas akademika yang menjadi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual.”
Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto yang berada ditengah peserta aksi solidaritas bertajuk “Kita Agni Hari Ini” di kampus Bulaksumur, juga menyampaikan tuntutan, dan minta semua pihak mengawal penyelesaian kasus ini.
“Fisipol menuntut universitas untuk menuntaskan kasus pelecehan seksual itu dimulai dari fact-finding (pencarian fakta) di lapangan kepada pihak-pihak yang terkait , setelah itu universitas memutuskan berdasarkan rekomendasi yang dibuat oleh Tim Investigasi yang dibentuk oleh rektor. Rekomendasi itu tidak dilaksanakan dengan cukup baik, sehingga saya paham bahwa penyintas merasa tidak diperlakukan secara adil,” kata DR. Erwan Agus Purwanto.
Percobaan perkosaan yang dialami Agni dengan pelaku teman KKN yaitu HS, mahasiswa Fakultas Teknik terjadi pada Juni 2017 namun pimpinan universitas dinilai belum memberikan keputusan yang adil bagi penyintas. Majalah kampus Balairung memuat kasus tersebut 5 November lalu dan membuat kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat termasuk adanya petisi online melalui Change.org.
Rifka Annisa Women Crisis Center menyatakan telah memberikan konseling kepada penyintas yang awalnya mengalami depresi berat, sejak September 2017.
Suharti, Direktur Rifka Annisa mengatakan, mencuatnya kembali pemberitaan terkait kasus Agni mengindikasikan bahwa upaya penyelesaian di internal UGM belum tuntas dan belum memenuhi rasa keadilan korban.
Baharuddin Kamba dari Yogya Police Watch Kamis siang (8/11/18) juga menyerahkan surat desakan kepada rektor UGM agar segera menuntaskan kasus pelecehan seksual tersebut melalui jalur hukum.
“Akan menjadi kesulitan bagi penyidik kalau tidak ada laporan atau pengaduan yang mereka terima. Lha, kalau kita desakkan ke masyarakat untuk melaporkan ke polisi, misalnya, kalau tidak ada laporan kan polisi juga minta klarifikasi. Bisa saja seperti itu tetapi formalnya itu ya harus ada laporan ke polisi,” kata Baharuddin Kamba.
Cornelia Natasha, mahasiswa Fisipol mengapresiasi perjuangan Agni mulai dari ditemani hanya sahabat dekat, lalu menembus birokrasi UGM dan tidak diperlakukan adil hingga menggalang teman Agni Hari Ini.
“Saya sangat menghargai perjuangan Agni, yang kasusnya mencuat dan mendapatkan perhatian sangat besar serta Agni-Agni lainnya yang sudah dipadamkandalam perjuangannya. Sayakorban perkosaan domestik dan saya merasakan betul bagaimana tekanan pada korban-korban pelecehan maupun kekerasan seksual,” kata Cornelia Natasha.
Anggar Sandhy Perdana, mahasiswa yang ikut dalam aksi solidaritas Agni mengatakan, upaya paling penting saat ini adalah menciptakan lingkungan kampus yang memberikan ruang bagi penyintas untuk mendapatkan perlakuan yang adil.
“Agni ini kan seperti fenomena puncak gunung es, yang mungkin sekarang UGM baru mulai ketika kampus lain tidak ada kasus seperti ini, menurut saya bukan berarti tidak ada kasus. Sebenarnya yang harus dipastikan adalah bagaimana lingkungan kampus menciptakan ekosistem yang mendukung penyintas untuk speak-up, dan itu menurut saya masih jarang ditemui di kampus,” kata Anggar Sandhy Perdana.
Lebih jauh Erwan Agus Purwanto, Dekan Fisipol minta agar pimpinan UGM terbuka atas peristiwa itu, dan Agni mendapatkan keadilan serta move-on untuk bisa segera menyelesaikan kuliahnya.
“Tidak usah menutup-nutupi, sebaiknya kita sampaikan kepada masyarakat , mendidik masyarakat bahwa peristiwa itu karena kesalahan kita ditengah masyarakat yang didominasibudaya patriakhis yang menganggap hal-hal seperti itu dianggap biasa, barangkali. Dibalik peristiwa ini masyarakat tidak hanya dapat hebohnya tetapi juga mendapatkan pelajaran penting,” imbuhnya. [*]
Sumber Berita dan Foto : VoA Indonesia