Gorontalo – Persoalan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 tahun 2018, yang melarang eks terpidana koruptor, untuk mencalonkan diri sebagai calon Anggota Legislatif, terus menuai kritik dari berbagai kalangan. Termasuk di Gorontalo, masalah PKPU tersebut menjadi perdebatan hangat.
Seperti yang terlihat saat dialog publik yang dilaksanakan Komunitas Pegiat Pemilu (KiP) Provinsi Gorontalo, yang menghadirkan narasumber dari Kemenkumham, praktisi hukum, Bawaslu, Kpu dan mantan warga binaan Lembaga Permasyarakatan (Lapas).
Dimana beberapa diantaranya tidak sepakat dengan keberadaan pasal dan ayat, yang melarang eks koruptor tidak bisa ikut nyaleg. Padahal sudah sangat jelas PKPU bertentangan dengan aturan tertinggi, yaitu Undang – Undang.
Praktisi Hukum Gorontalo Herson Abas berpendapat, KPU yang membuat PKPU 20, sudah melampaui kewenangannya. Sebab, larangan eks koruptor tidak bisa nyaleg, sudah sangat jelas melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). “Sudah melanggar hak memilih dan dipilih, yang dimiliki setiap warga negara Indonesia,” paparnya.
Sementara kata Herson, dalam putusan pengadilan terpidana koruptor tidak dicabut hak pilihnya, dan oleh KPU malah mencabut hak pilih terpidana eks koruptor. Sehingga, penyelenggara dalam hal ini KPU, sudah melampaui kewenangan.
Apa yang disampaikan Herson Abas justru berbeda dengan apa yang disampaikan Kemenkumham, Rismanto S.H, yang berpendapat tidak ada masalah dalam PKPU 20. Karena ayat yang dipermasalahkan, sudah diserahkan ke partai politik. Dimana partai politik, untuk bisa menyeleksi setiap Bacalegnya.
PKPU yang dinilai sudah melanggar HAM dan bertentangan dengan UU, hal itu tidak mungkin. Karena hak setiap warga negara itu, bisa dicabut. “Sehingganya tidak ada yang bertentangan dengan HAM. HAM sudah diatur dalam UU, dan hak setiap orang bisa juga dicabut melalui UU juga,” ujarnya.
Bawaslu dan KPU Provinsi Gorontalo berpendapat yang sama, seperti penjelasan Anggota KPU Provinsi Gorontalo Sophian Rahmola, bahwa PKPU 20 yang ada saat ini tetap akan berlaku. “Pada dasarnya kami Penyelenggara di daerah, tidak pada persoalan menafsirkan aturan. Namun kami hanya menjalankan apa yang ada dalam aturan itu,” ujarnya.
Sementara itu, mantan warga binaan Lembaga Pemasarakatan Dr. Ridwan Tohopi menilai, antara PKPU dan UU tidak sejalan. Seharusnya PKPU 20, menyesuaikan dengan UU yang sudah mengatur syarat-syarat itu. Bukan justru menghilangkan hak setiap orang.
“Jika seperti ini, KPU sudah menjadi hakim yang memutuskan hak setiap orang. Sekalian, eks terpidana narkoba, koruptor, pembunuhan dan lain sebagainya, dicabut hak pilih dan memilih. Supaya tidak ada lagi persoalan dan perdebatan panjang. Jika membuat aturan, harus konsisten, sekali membuat aturan selamanya berlaku,” tegasnya. (rls)