Vaksin dari China? Efek samping? Tidak halal? Berbagai hoaks yang beredar mengenai vaksin COVID-19 menjadi faktor yang mendorong keraguan masyarakat untuk menjalani vaksinasi. Namun, pakar kesehatan mendorong masyarakat agar tidak ragu dan takut menjalani vaksinasi COVID-19. Bagaimana menurutmu?
WASHINGTON, D.C – Survei terbaru yang dilakukan oleh organisasi nirlaba, Kaiser Family Foundation, yang menangani berbagai isu kesehatan nasional di Amerika Serikat, menunjukkan sekitar 27 persen menolak untuk menjalani vaksinasi COVID-19 walau dilakukan secara gratis dan dinilai aman.
Sebagian besar mengutarakan kemungkinan efek samping dari vaksin ini menjadi faktor kekhawatiran utama, selain juga kurangnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah mengenai keamanan dan efikasinya. Mengingat bahwa vaksin ini masih tergolong sangat baru dan kekhawatiran akan politisasi yang timbul selama proses pembuatan vaksin ini juga meningkatkan keraguan masyarakat.
Di Indonesia sendiri, hasil survei terkini yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting menunjukkan hanya sekitar 37 persen warga yang “secara tegas” mau divaksinasi COVID-19 jika sudah tersedia. 17 persen warga mengatakan tidak akan divaksinasi, bahkan 28 persen warga menyatakan tidak takut tertular COVID-19.
Berbagai mitos dan hoaks yang beredar mengenai vaksin COVID-19 menjadi salah satu faktor yang mendorong keraguan masyarakat untuk menjalani vaksinasi.
Mengapa Vaksin dari China?
Indonesia memiliki PT Bio Farma yang sudah memproduksi vaksin sejak tahun 1890. Perusahaan ini bahkan telah mengekspor vaksin buatannya hingga ke lebih dari 100 negara. Dalam membuat vaksin-vaksin yang sudah umum, seperti polio, DPT, dan hepatitis, Bio Farma selalu mengacu kepada landasan teknologi yang konvensional, dengan menggunakan virus yang telah dilemahkan atau dibuat non-aktif.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Universitas Padjajaran, Bandung, Prof. Dr. dr. Cissy Rachiana Sudjana Prawira-Kartasasmita menjelaskan, bahwa dalam pembuatan vaksin COVID-19, banyak perusahaan yang menggunakan berbagai platform yang berbeda dan tergolong baru, salah satunya mRNA.
“Kebetulan China itu bikinnya yang konvensional. Dan China itu yang paling duluan, bisa menawarkan. Karena dia itu bulan Juli saja sudah mendapat otorisasi dari regulatornya sendiri, untuk suatu izin, untuk memberikan vaksin pada militer, pada petugas kesehatan. Sehingga waktu itu Indonesia sudah mendapat info tentang itu, dan kita akan kerja sama dengan Bio Farma, mereka akan memberikan ‘Bulk.’ Bulk itu adalah bahan dasar untuk pembuatan vaksin. Jadi Bio Farma enggak usah mulai dari awal. Nah, itulah salah satu (alasannya), Bio Farma memilih Sinovac, yang memang sudah dikenal teknologinya,” jelas Prof. Cissy.
Prof. Cissy menambahkan, vaksin yang non-konvensional, seperti mRNA, memerlukan penanganan yang khusus. Salah satunya harus disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu tertentu.
Vaksin dengan teknologi konvensional dapat disimpan dalam lemari pendingin biasa dengan suhu sekitar 2-8 derajat Celsius. Sedangkan vaksin COVID-19 Moderna misalnya, harus disimpan dalam suhu -20 derajat Celsius, sedangkan vaksin COVID-19 Pfizer-Biontech harus disimpan dalam suhu -70 derajat Celsius.
“Di Indonesia-nya kan harus didistribusikan dengan (suhu) -20, -70 (derajat Celsius), yang tidak mudah. Mahal kan, karena kita mampunya untuk 2-8 derajat (Celsius) penyimpanannya. Itulah beberapa alasannya,” tegas Prof. Cissy.
Aman Atau Tidak?
Keefektifan vaksin buatan Sinovac Biotech dari China yang sudah masuk uji klinis tahap tiga di Indonesia kerap dipertanyakan. Uji klinis di Brazil menunjukkan tingkat keefektifan vaksin Sinovac ini di atas 50%. Sementara uji klinis di Turki menunjukkan efikasinya 91,25%. Sinovac sendiri belum memberi penjelasan resmi pada publik.
Prof. Cissy Kartasasmita menjelaskan, bahwa vaksin Sinovac ini telah melalui beberapa tahap uji klinis sebelumnya dan kini mendapat kesempatan untuk melakukan uji klinis fase 3 di Bandung, di mana ia dipercaya sebagai penasihat medisnya.
Hasil uji klinis yang dilakukan terhadap 1,620 relawan ini kini telah usai dan tengah dalam tahap observasi, yang akan berlangsung selama satu tahun ke depan. Sejauh ini hasilnya dikatakan bagus dan aman.
“Nah, pada pemberian-pemberian (kepada) yang 1,620 (relawan) itu, tidak ada yang mempunyai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Nah, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi ada yang ringan, ada yang sedang, ada yang berat. Nah, kebanyakan itu ringan aja. Dalam arti hanya sakit di tempat suntikan, merah sedikit, demam sedikit, seperti flu-lah gitu. Dan tidak ada yang dilaporkan berat,” tambahnya.
Jika bagus hasilnya, maka Indonesia akan mendapatkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization dan vaksin akan segera didistribusikan, dengan mengutamakan tenaga kesehatan terlebih dahulu.
Sebagai pekerja di garis depan, perawat asal Indonesia di Texas, Dita Nasroel Chas yang juga adalah anggota satgas kesehatan di negara bagian itu, belum lama ini menjalani vaksinasi COVID-19.
Dita menerima vaksin buatan Pfizer-BioNTech, yang sudah disetujui oleh Badan Pengawas Obat-obatan (FDA) di Amerika Serikat. Ia mengatakan, tidak merasakan adanya efek samping apa pun dari vaksin tersebut.
“Enggak ada sama sekali. Karena kan memang itu vaksin baru, jadi kesiapan saya waktu itu saya tunggu. Setiap detik saya catat, saya bikin jurnal sendiri ya, apa yang saya rasakan. Begitu sudah disuntik apakah saya sempoyongan, pusing, saya tidak mengalami perubahan apa-apa,” jelas Dita kepada VOA.
Setelah menjalani vaksinasi yang pertama ini, Dita pun tidak ragu untuk menjalani vaksinasi COVID-19 yang kedua pada bulan Januari.
“Orang banyak bilang, vaksin itu kan harusnya uji cobanya lama dan sebagainya. Betul memang uji coba vaksin biasanya lama dan menahun. Tetapi baru kali ini ada fenomena, di mana sebuah penyakit itu, seluruh ahli sedunia serentak melakukan uji coba. Jadi walaupun waktunya singkat, tetapi tahapan ujian klinisnya tetap dilaksanakan, ahlinya lebih banyak dan kemudian kelinci percobaannya juga lebih banyak. (Jadi) saya mantap sekali dan merasa bahwa ini baik,” ujarnya.
“Saya yakin para ahli tidak akan mencelakakan masyarakatnya, apalagi kita adalah garda terdepan yang mencoba mengatasi COVID,” tambah Dita.
Takut Tidak Halal
Mengenai kehalalan vaksin, Prof. Cissy Kartasasmita menjelaskan bahwa perwakilan Majelis Ulama Indonesia sudah mengunjungi pabrik Sinovac di China.
“Dilihat bahan bakunya, dilihat cara pembuatannya, sudah memenuhi syarat atau belum,” ujarnya.
Memang hingga saat ini mereka belum merilis laporan kunjungan tersebut, yang rencananya akan dikeluarkan bersamaan dengan izin penggunaan darurat vaksin tersebut di Indonesia.
“Kalau nanti MUI sudah bilang bahwa vaksin ini halal untuk dipakai. BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sudah menyatakan mutunya bagus, aman, khasiatnya bagus, dan kita dapat Emergency Use Authorization, saya kira sudah enggak ada lagi alasan untuk menolak. Itu merupakan suatu aturan dari WHO, yang harus ditaati bahwa aman, mutunya bagus, dan khasiatnya juga bagus. Jadi sudah enggak usah takut lagi,” jelas Prof. Cissy.
Mantan Pasien COVID-19 Tetap Perlu Vaksinasi
Awas! Walau pernah terkena COVID-19, bukan berarti seseorang menjadi kebal akan virus tersebut. Denita Utami, seorang dokter umum yang tengah melanjutkan studi S2 jurusan kesehatan masyarakat di Columbia University, New York mengatakan, mantan pasien COVID-19 “tetap perlu divaksin.”
“Alasannya adalah karena belum diketahui secara pasti respon dari sistem kekebalan tubuh setelah terkena COVID. Jadi belum tahu apakah benar-benar kebal dari COVID walaupun sudah pernah terkena COVID. Dengan adanya vaksin, sistem kekebalan tubuh dapat bekerja dengan lebih optimal, sesuai dengan efikasi yang sudah diteliti sebelumnya,” jelas Denita.
Strategi Melawan Hoaks
Menanggapi mitos atau hoaks yang beredar, Prof. Cissy Kartasasmita menjelaskan bahwa keraguan terhadap vaksin ini tidak hanya datang dari masyarakat umum, namun juga dari “kalangan menengah tinggi,” yang bahkan juga meragukan vaksin lain, yang sudah ada sebelumnya.
Walau program vaksinasi atau imunasasi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1970, Prof. Cissy menilai bahwa keraguan ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan informasi mengenai vaksin.
“Terutama dari bagian imunisasi di kemkes di dinas kesehatan, jadi meskipun mereka sudah bekerja keras, masih banyak orang yang mendengarkan justru yang tidak berkenan dengan vaksin ini yang disebut anti vaksin itu atau hesitancy,” jelas Prof. Cissy.
Khususnya di era pandemi COVID-19, peran dokter dan petugas kesehatan dalam menganjurkan masyarakat untuk melakukan vaksinasi COVID-19 menjadi utama. Tidak hanya harus berjuang melawan pandemi, para petugas kesehatan ini juga ditantang untuk melawan hoaks yang beredar seputar vaksin COVID-19.
Namun, memang pada kenyataannya, keraguan akan vaksinasi COVID-19 ini pun juga muncul di antara kolega Dita Nasroel Chas, yang juga bekerja di bidang kesehatan.
“Ada yang suruh saya maju duluan. Tentu saja manusia ada rasa ragu, tetapi yang bisa kita lakukan adalah menyampaikan apa yang kita rasakan dan saya juga menyampaikan kenapa saya jadi mantap terhadap vaksin (COVID-19),” tegasnya.
Terkait hoaks, Denita Utami mengatakan sangat penting bagi masyarakat untuk lebih teliti lagi dalam memilih sumber berita yang benar dan terpercaya. Berbagai strategi pun kerap dilakukan untuk meyakinkan masyarakat akan vaksinasi COVID-19 ini.
“Kalau di Amerika sendiri kan kita lihat Joe Biden kemarin divaksin, kemudian wakil presiden yang saat ini, Mike Pence, juga kemarin divaksin, jadi menggunakan figur-figur yang masyarakat kenal, untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk vaksinnya,” ujarnya.
Apa pun jenis vaksin yang tersedia, jika sudah terbukti aman, Prof. Cissy mengatakan tidak perlu ragu lagi untuk menjalani vaksin COVID-19. Karena untuk mencapai herd immunity atau kekebalan berkelompok, jumlah masyarakat yang divaksinasi harus mencapai 70-80 persen.
“Meskipun Sinovac, meskipun Pfizer, apa pun yang ada ambillah kesempatan ini. Kalau pemerintah sudah menentukan, ‘kamu harus disuntik pada hari ini, jam segini,’ datanglah. Karena kalau tidak datang, nanti repot lagi. Itu kan mengatur 180 juta orang. Jadi jangan ragu, kalau MUI sudah mengeluarkan (sertifikasi halal), BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sudah mengeluarkan kita harus ikut mensukseskan untuk bisa mengakhiri pandemi,” kata Prof. Cissy.
Namun, Prof. Cissy mengingatkan bahwa protokol kesehatan, seperti pakai masker yang benar dan jaga jarak masih tetap harus dipatuhi walau nanti sudah divaksinasi. Jangan lupa juga akan 3T, yaitu Test atau diperiksa, Tracing atau mengetahui dengan siapa orang tersebut bertemu, dan Treatment atau diobati dan diisolasi.
Karena masyarakat masih harus ingat, “Dengan adanya vaksin, pandemi tidak berakhir,” pungkasnya. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia