JAKARTA – Sejumlah mahasiswa dengan berbagai latar belakang pendidikan dan aktivitas sosial mengikuti sekolah Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Mereka berasal dari sejumlah daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Sumatera, Sulawesi dan Jawa.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada Rabu (14/8) membuka kembali Sekolah Hak Asasi Manusia untuk mahasiswa. Pada angkatan ke IX ini, pesertanya berjumlah 29 orang.
Sekolah HAM untuk Mahasiswa ini sudah diselenggarakan KontraS sejak 2009 dalam rangka kaderisasi. Dalam program ini, KontraS bekerjasama dengan Kedutaan Perancis, Swiss dan Belanda.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mengatakan 29 peserta Sekolah Hak Asasi Manusia tersebut memiliki latar belakang pendidikan dan aktivitas sosial beragam. Dia menilai semua peserta memiliki potensi menjadi bagian dari promosi perlindungan hak asasi manusia. Para peserta berasal dari berbagai penjuru Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Timur, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa.
Yati menilai Sekolah HAM yang telah berjalan 10 tahun ini telah memberikan efek yang baik setidaknya untuk lingkungan tempat mereka berada. Mereka tambahnya setidaknya dapat menunjang keberlanjutan dari kerja-kerja kampanye penegakan HAM.
“Kenapa kami memilih banyak dari daerah, karena perhatian dan konsentrasi kita itu memang harus lebih banyak ke wilayah-wilayah di luar Jakarta khususnya dan persoalan-persoalan hak asasi manusia nyatanya juga banyak terjadi di wilayah-wilayah mereka,” kata Yati.
Pembukaan seleksi diumumkan secara online dan KontraS mendatangi sejumlah kampus untuk mempromosikan Sekolah HAM tersebut. Pelamar kemudian mengirim aplikasi secara online atau melalui pos.
Yati mengakui KontraS mempertimbangkan keterwakilan geografis dalam proses seleksi, khususnya Indonesia timur. Proses juga mempertimbangkan keterwakilan gender, dan konteks persoalan di wilayah masing-masing. Dia memberikan jatah peserta lebih banyak dari Jawa Barat karena provinsi ini marak dengan isu-isu intoleransi. Hal lain yang dipertimbangkan dalam proses seleksi adalah aktivitas sosial calon peserta dan keterkaitan mereka dengan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Sekolah HAM ini berlangsung dua pekan. Ada beragam kegiatan, termasuk memahami kerja KontraS dan nilai-nilai dasar HAM, menerima materi dan melakukan praktik tentang isu-isu HAM, bertemu komunitas korban pelanggaran HAM, mendatangi instansi pemerintah seperti Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk dapat mengerti mekanisme-mekanisme advokasi pelanggaran HAM, dan bertemu perwakilan kedutaan asing untuk memahami hak asasi dalam konteks global.
Yati mengatakan pendirian Sekolah HAM untuk Mahasiswa memang untuk menunjang keberlanjutan kerja kampanye penegakan HAM sehingga regenerasi harus dilakukan. Dia berharap nantinya mahasiswa peserta tidak sekadar memahami isu-isu HAM tetapi juga menjadi bagian dari kampanye penegakan HAM dalam konteks yang mereka bisa dan sesuai situasi serta kondisi yang mereka hadapi.
Selesai menjalani pendidikan, lanjut Yati, KontraS akan membantu alumni memetakan persoalan-persoalan HAM di wilayah masing-masing dan gagasan mereka bagi penyelesaian. Selain itu, alumni Sekolah HAM juga akan menjadi mitra kerja KontraS.
Peserta Sekolah HAM bernama Muhammad Mufti, mahasiswa semester VIII di Universitas Islam Negeri Wali Songo Semarang, mengatakan motivasinya menjadi peserta karena jarang sekali ada pendidikan HAM secara komprehensif di bangku kuliah formal. Menurutnya, ia bisa belajar mengenai isu-isu HAM dari organisasi-organisasi sipil yang memang memiliki fokus pada isu HAM.
“Permasalahan kemanusiaan (di Semarang) cukup beragam. Mulai dari permasalahan intoleransi yang masih sering muncul dari tahun ke tahun (sampai) permasalahan ketimpangan sosial, lingkungan. Atas dasar persoalan ini, mungkin saya harus belajar mencari tahu, untuk kali ini saya bisa bertemu dengan orang-orang dalam bidangnya selama ini,” ujar Mufti.
Mufti yang aktif di pers kampus berkomitmen membantu penyesaian isu-isu HAM di sekitar tempat tinggalnya sesuai kemampuannya.
Daywin Prayogo dari Haksasi.id, salah seorang pengajar,menjelaskan rezim penguasa saat ini mengabaikan persoalan HAM karena mengurusi kebebasan pribadi, termasuk orientasi seksualdan hak membaca.
“Semua orang mengacunya pada situasi politik 2019 lalu. Isu-isu demokrasi dipertentangkan. Saya bukan bilang tidak boleh atau tidak baik, tapi sangat merusak buat kita ketika kita hanya dipaksa dikeringkan pemikiran kita hanya untuk menentukan pilihan dari figur. Di mana isu kebebasannya?,” ujar Daywin.
Daywin berpesan kepada 29 mahasiswa peserta Sekolah Hak Asasi Manusia untuk berfokus padaisu-isu hak asasi mana yang ingin disuarakan dan diperjuangkan masing-masing.
Pendeta Suarbudaya Rahadian, seorang pengajar lain, mengatakan tantangannya sekarang adalah bagaimana menjadi aktivis HAM yang sesungguhnya, dan bukan sekadar seru-seruan. Dia menyebutkan banyak orang sudah merasa berkontribusi dalam upaya penegakan HAM karena menandatangani petisi online. Padahal, katanya, itu tidak cukup.
Tapi dia menegaskan bukan berarti kegiatan di dunia maya tidak penting. Dia mencontohkan gerakan Arab Spring yang meruntuhkan rezim-rezim diktator di Tunisia, Libya, dan Mesir terwujud karena peran serta media sosial. [*]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia