JAKARTA – Menyeruput sajian kopi susu di kedai kopi ini sensasinya berbeda. Bukan soal rasa, karena rasa kopinya sungguh nikmat di lidah, cocok dengan selera warga urban Jakarta yang tengah menggandrungi manisnya es kopi susu. Ketika masuk, senyum dan sambutan staff yang sangat ramah langsung jadi sajian utama. Namun bagi sebagian orang, sambutan verbal yang disampaikan mungkin akan sulit dipahami. Ini karena seluruh pekerja dan barista Kopi Tuli adalah penyandang disabilitas pendengaran, atau tuli. Lantas, bagaimana bisa memesan kopi di sini?
Putri Santoso, salah satu pemilik Kopi Tuli yang juga orang Tuli, sengaja menyederhanakan menu ke dalam alfabet, sekaligus dilengkapi dengan gambar bahasa isyaratnya untuk membantu pelanggan melakukan pemesanan. Cara ini seiring dengan semangat pendirinya yang ingin meningkatkan interaksi antara teman Tuli dengan orang mendengar.
“Alhamdulillah, saat ini banyak masyarakat mau belajar bahasa isyarat agar bisa berinteraksi antara orang-orang Tuli dan orang-orang dengar,” jelas Putri melalui bahasa isyarat saat ditemui VOA.
Kopi Tuli sendiri berdiri sejak tahun 2018, dan kini telah memiliki dua cabang, di Depok, Jawa Barat dan di Duren Tiga, Jakarta Selatan. Didirikan oleh tiga sahabat yang juga orang Tuli; Putri Santoso, Adhika Prakoso dan Erwin Syah Putra.
“Sebetulnya awal mulanya adalah hobi Adhika. Sebenarnya buka usaha kopi itu bagus tapi kalau banyak pesaingnya bagaimana? Saya tenangkan Adhika, ‘tenang saja kita buat konsep yang berbeda’,” cerita Putri.
Akhirnya konsep pemberdayaan teman Tuli inilah yang dipilih. Selain karena memang masih rendah ketersediaan lapangan kerja untuk teman Tuli, para pendiri Kopi Tuli menginginkan untuk meningkatkan interaksi antara orang-orang dengar dengan orang Tuli agar bisa saling memahami.
Membangun usaha dengan konsep ini bukan berarti tanpa tantangan. Meski kini kehadiran Kopi Tuli semakin diterima masyarakat, namun Putri mengaku pelatihan menjadi salah satu tantangan terbesar yang ia dan kedua sahabatnya harus hadapi di fase awal memulai usaha ini. Pelatihan mencakup pengenalan kopi, penggunaan mesin pembuat kopi, teknik, hingga manajemen kafe kepada pekerjanya yang masih awam dan tuli.
Ingin Tingkatkan Interaksi
Usaha kopi ini diharapkan juga bisa menjembatani interaksi yang lebih intensif lagi antara orang dengar dengan orang Tuli, sebuah hal yang memang jarang terjadi. Interior Kopi Tuli diisi dengan kutipan inspiratif, poster figur publik Tuli, serta panduan alfabet Bahasa isyarat di setiap meja.
Menu kopi yang tersedia dibuat sedemikian unik namanya, sebuah gimik yang dilakukan juga dengan harapan terciptanya interaksi. “Kami punya menu ‘daun susu’. Orang berpikir ‘daun susu’ ini maksudnya daun apa ya? Daun jeruk atau daun salam? Ternyata maksudnya daun ini adalah matcha. Kemudian tanah susu, orang berpikir tanahnya adalah tanah betulan, ternyata tanah yang dimaksud di sini adalah cokelat susu,” kata Putri.
Suasana yang ditemukan ketika memasuki Kopi Tuli di Kawasan Duren Tiga akrab seperti nuansa kafe kekinian pada umumnya. Rasa kopi susunya yang dinamai Kosu Koso sangat menyegarkan terutama jika dinikmati di siang hari yang panas. Namun berbeda dengan kafe-kafe kekinian di Jakarta pada umumnya, Kopi Tuli sengaja tidak menyediakan koneksi wifi. Ini dilakukan dengan tujuan meminimalisasi interupsi komunikasi pelanggan dan staff dari gawai pintar mereka.
Orang Tuli Minim Lapangan Kerja
Kopi Tuli mempekerjakan 6 staff yang semuanya tuli. 4 diantaranya bekerja bergantian dalam dua shift di cabang Jakarta, sementara 2 lainnya bekerja penuh waktu di cabang Depok dengan jam buka yang lebih singkat. Aldila salah satunya, ia telah bekerja selama delapan bulan di Kopi Tuli.
Aldila mengaku sangat senang dapat bekerja di kafe tersebut dibandingkan pekerjaan sebelumnya sebagai juru masak di sebuah hotel di Jakarta. “Sebetulnya (harusnya kerja) satu tahun tapi saya berhenti di bulan ke empat, saya keluar dari hotel. Menurut saya pekerjaan saya terlalu berat, tidak ada istirahat karena full time. Istirahat hanya 1-2 jam, dan tidur saya kurang kira-kira satu jam saja,” ujar Aldila.
Aldila mengenyam pendidikan sarjana jurusan tata boga sebelum ia menjalani profesinya sebagai juru masak tersebut. Pekerjaannya itu ia dapatkan berkat bantuan dosennya. Sebelumnya ia kerap mendapatkan penolakan.
“Ketika mencari pekerjaan, saya sudah melamar ke 3 perusahaan tapi ditolak karena (kemampuan) bicara saya kurang. Dan saya merasa ada sedikit diskriminasi. Tapi teman saya yang dosen membantu saya untuk bisa diterima kerja di hotel. Alhamdulillah sekali.”
Tidak hanya Aldila, hal ini juga dirasakan oleh ketiga pendiri Kopi Tuli. Hal ini sekaligus memotivasi ketiganya untuk mendirikan Kopi Tuli. Putri berpendapat bahwa apresiasi terhadap difabel untuk bekerja semakin baik. Upaya penyetaraan hak terhadap difabel pun terus meningkat. Namun teman Tuli masih kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan akibat keterbatasan komunikasi. “Pendapat saya untuk teman-teman Tuli mungkin masih kesulitan (mendapatkan kerja), karena kami mengalami hambatan komunikasi. Sementara disabilitas yang bisa mendengar seperti daksa, atau netra sudah mulai maju karena mereka bisa berkomunikasi,” tukas Putri.
Penyerapan tenaga kerja difabel sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang no. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. UU tersebut mewajibkan perusahaan swasta untuk menyerap minimal 1 persen tenaga kerja difabel dari total pekerjanya, sementara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebanyak 2 persen.
Tuli, Bukan Tunarungu
“Saya lebih nyaman dipanggil ‘Tuli’, karena ‘Tuli’ memiliki identitas. Identitasnya dengan berbahasa isyarat, dan saya bangga sebagai Tuli,” jawab Putri ketika ditanya lebih senang disebut ‘tunarungu’ atau ‘tuli’.
Jawaban serupa akan anda dapatkan dari penyandang disabilitas pendengaran lainnya, meski umunya orang mengira ‘tunarungu’ sebagai terminologi yang tepat. Namun bagi teman Tuli, istilah ‘tunarungu’ tidak merepresentasikan identitas mereka.
Hal ini diamini oleh Silva Tenrisara, Kepala Laboratorium Riset Bahasa Isyarat Universitas Indonesia, “Pada istilah ‘tunarungu’ dan ‘tuli’ terdapat perbedaan rasa bahasa dan perspektif makna keduanya.”
Kata ‘tuna’ berarti ‘rusak’ atau ‘cacat’, sedangkan ‘rungu’ berarti ‘pendengaran’. Secara harfiah ‘tunarungu’ berkonotasi negatif karena bermakna cacat dan rusak. Menurut Silva, makna inilah yang lantas dihindari oleh orang Tuli.
Istilah ‘tunarungu’ dalam bahasa Inggris dipadankan dengan istilah ‘hearing-impaired’ yang mengindikasikan kerusakan atau kecacatan. “Orang Tuli tidak menganggap ketuliannya sebagai kerusakan atau kecacatan, tetapi hanya perbedaan,” tambah Silva.
Melalui pesan singkatnya, Silva menjelaskan meski kata ‘tuli’ kerap dijadikan kata ejekan bagi orang-orang dengar, namun hal tersebut tidak berlaku bagi orang Tuli. Kata ‘tuli’ justru bermakna netral yang lebih bisa mewakili identitas penyandang disabilitas pendengaran sebagai orang-orang yang memiliki budaya dan cara hidup seperti orang pada umumnya, dan mampu berkomunikasi melalui bahasa isyarat. [**]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia