OPINI – Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan bagian dari respons kedaruratan kesehatan masyarakat. PSBB bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit kedaruratan kesehatan masyarakat, yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.
Dalam konteks kekinian, maka penyebab terjadinya kedaruratan kesehatan adalah penyebaran Corona Virus Desiase 2019 (COVID-19). Oleh World Health Organization disebut sebagai pandemi. Di saat yang sama Indonesia telah menyatakan COVID-19 sebagai bencana nasional non-alam serta Presiden Joko Widodo telah resmi menyatakan Indonesia darurat kesehatan masyarakat.
Hanya saja di tengah pelaksanaan PSBB di sejumlah daerah, justru terlihat ketidaksinkronan jajaran pemerintahan dalam menangani wabah yang mematikan ini. Terlihat dari kebijakan yang sering berubah-ubah, bahkan pemerintah pusat sering kali mengeluarkan kebijakan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Misalnya larangan mudik.
Terbitnya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 H, Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dimana membuka ruang sejumlah alat transportasi kembali beroperasi. Walhasil terjadi pertentangan antara kebijakan Menteri Perhubungan dengan Larangan Mudik yang selama ini dianjurkan oleh Presiden langsung.
Fenomena tersebut, tentu hanya akan membingungkan dan/ atau menciptakan polusi kegaduhan di masyarakat. Apalagi di daerah yang sementara melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Pertanyaannya, apakah Peraturan Menteri Nomor 25 Tahun 2020 memberikan kelonggaran pergeseran masyarakat (mudik)? Sebagaimana anggapan masyarakat luas. Padahal bila kita membaca secara cermat isi dari peraturan Menteri tersebut, ternyata tidaklah demikian seperti yang dihumbar-humbar dimedia sosial. Pasal 2 Permen Perhubungan menyatakan bahwa
“Larangan sementara penggunaan sarana transportasi darat berlaku untuk sarana transportasi dengan tujuan keluar dan/ atau masuk wilayah (a) Pembatasan Sosial Berskala Besar (b) zona merah penyebaran corona virus disease 2019, dan (c) aglomerasi yang telah ditetapkan sebagai wilayah pembatasan sosial berskala besar”.
Artinya tidak mempengaruhi kebijakan pemberlakukan PSBB di wilayah Provinsi Gorontalo. Sebagaimana kita ketahui bersama, Pergub Gorontalo Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Wilayah Provinsi Gorontalo, pada Pasal 5 ayat 3 huruf b yang berbunyi “pembatasan kegiatan pergerakan orang masuk wilayah Provinsi Gorontalo”.
Pada kesempatan ini, Penulis juga ingin membahas mengenai efektivitas pelaksanaan PSBB Provinsi Gorontalo. PSBB yang sudah mulai berjalan dari tanggal 4 Mei 2020 sampai sekarang. Atau dengan kata lain sudah mulai berjalan selama 9 hari (12/5). Charles O. Jones menyatakan evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang dapat menyumbangkan pengertian yang besar nilainya dan dapat membantu penyempurnaan pelaksanaan kebijakan beserta perkembangannya.
Teori Efektivitas Hukum
Pelaksanaan evaluasi PSBB, kemudian Penulis akan menguji dengan menggunakan teori efektivitas hukum yang diperkenalkan oleh Soerjono Soekanto. Pertama, faktor hukumnya. Maksudnya adalah peraturan perundang-undangan tertulis yang berlaku umum baik dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah. Dalam konstek ini berarti faktor hukumnya adalah Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2020. Melihat dari segi substansi materi tidak ada bentuk pelanggaran HAM walaupun telah terjadi pembatasan. Sebab kondisi Indonesia masuk kategori a state of emergancy. Sehingga keliru bila ada yang mengatakan pembatasan dalam PSBB melanggar HAM.
Kedua, faktor Penegakan Hukum. Faktor ini menekankan pada mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, akan menimbulkan masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum. Realitas di lapangan selama penerapan PSBB di wilayah Provinsi Gorontalo tidak satu pun tindakan penegak hukum yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsep penindakan Pergub PSBB secara humanis dilaksanakan di lapangan. Berbeda dengan daerah lain seperti di Pekanbaru atau di kota Makassar.
Ketiga, faktor sarana atau fasilitas. Faktor ini sangat menentukan kerja-kerja penegakan aturan atau Pergub PSBB di lapangan. Melihat ketersediakan kendaraan dan peralatan lainnya maka faktor ini sangatlah mendukung terlaksananya PSBB yang humanis di wilayah Provinsi Gorontalo.
Sudah Efektif
Keempat, faktor Masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Kepatuhan hukum masyarakat Gorontalo dalam pelaksanaan Pergub PSBB berada pada level yang tinggi. Terbukti dengan kurangnya tingkat pelanggaran yang terjadi. Pada saat berlaku pembatasan jam berativitas, seluruh wilayah Provinsi Gorontalo terpantau sunyi, tenang nan tidak ada masyarakat yang berkeliaran atau berkerumung seperti daerah lain. Kalau toh ada yang diamankan petugas, maka akan dinasehati/ diberikan pemahaman akan bahaya COVID-19 lalu dipulangkan.
Kelima, faktor Kebudayaan. Menurut Soerjono Soekanto, budaya mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Kuatnya akar budaya masyarakat Gorontalo tercermin dalam falsafah “Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah”. Sebab itu wajar, bila masyarakat Gorontalo sangatlah tertib dalam pelaksanaan PSBB.
Efektifnya faktor hukum, penegak hukum, fasilitas, masyarakat dan kebudayaan dalam rangka pelaksanaan PSBB di Wilayah Provinsi Gorontalo. Berkontribusi positif terhadap efektivitas kebijakan PSBB. Tercatat jumlah terpapar COVID-19 justru mengalami penurunan. Di saat yang sama pasien yang positif Corona berjumlah 19 orang, sekarang tersisa 6 orang pasien yang dirawat. Bila tren kesembuhan terjaga dan pembatasan PSBB tetap dilaksanakan. Maka pada pertengahan bulan ini, Provinsi Gorontalo akan masuk zona hijau tanpa pasien COVID-19. Bukankah itu tujuan dari PSBB ? Lalu kenapa dibilang tidak efektif. (**)