Jakarta – Siapapun setuju, proses pemungutan suara 17 April 2019 lalu adalah yang paling rumit dalam sejarah Indonesia. Membingungkan bagi sebagian pemilih, terutama yang berusia lanjut, dan memberatkan petugas pemungutan suara di tiap TPS. Dalam sebuah diskusi di Jakarta akhir pekan lalu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyatakan, desain Pemilu 2019 memang cukup berat.
Data korban terkait pelaksanaan Pemilu serentak 17 April mencatat total 326 orang meninggal. Dari jumlah itu, 253 merupakan Panitia Pemungutan Suara, 55 dari unsur Bawaslu dan 18 aparat Polri. Selain meninggal, ada pula 1.761 orang dari jajaran KPU dan 959 dari unsur Bawaslu yang mengalami sakit. Banyak wacana muncul sebagai respon atas kondisi itu, khususnya usulan mengubah kembali sistem Pemilu.
Namun, menurut Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz, evaluasi sebaiknya tidak dilakukan ketiga proses Pemilu masih berjalan.
“Kita buat saja dulu daftar masalahnya, misalnya soal administasi terutama tata kelolanya. Terkait dengan sistem, tunggu saja hasil pemilu tanggal 22 Mei nanti. Lalu bisa kita uji hasilnya dengan tujuan Pemilu serentak, sebagaimana putusan MK tahun 2013. Dari situ akan ketahuan, apakah problem yang muncul memang kontribusi sistemnya, atau menurut dugaan saya justru tata kelola administrasi Pemilu kita,” ujar August.
Hati-Hati Evaluasi Pemilu
August menyatakan, KPU sebenarnya memiliki waktu cukup panjang untuk persiapan. Pemilu serentak merupakan Putusan MK tahun 2013. DPR dan pemerintah menyepakati UU Pemilu yang dipakai saat ini pada Juli 2017. Artinya ada waktu hampir 2 tahun bagi KPU untuk mempelajari bagaimana sistem Pemilu serentak ini akan bekerja.
“Tidak banyak alasan pembenar bahwa kita tidak siap untuk melaksanakannya, karena waktu yang tersedia, infrastruktur yang mencukupi, termasuk kewenangan yang diberikan kepada penyelenggara Pemilu, baik KPU, Bawaslu maupun DKPP,” tambah August.
August menambahkan, untuk sementara itu seluruh pihak, terutama KPU, sebaiknya menahan diri dalam mengeluarkan wacana soal sistem Pemilu. Sebaiknya, KPU berkonsentrasi penuh dalam proses Pemilu yang menjadi tugas pokoknya, hingga 22 Mei mendatang. Setelah hasil Pemilu dapat dipastikan, KPU bisa mengajak berbagai pihak untuk melakukan evaluasi.
Semua pihak juga harus menyadari, bahwa sistem Pemilu 2019 ini merupakan respon atas masalah-masalah yang sudah dimitigasi sejak Pemilu 2004 dan 2009. Berbagai masalah itu, menurut August, misalnya soal efektivitas sistem pemerintahan presidensial dan tantangan membangun sistem kepartaian. Pemilu serentak memang memunculkan masalah, terutama teknis penyelenggaraan, tetapi kata Augus, bukan berarti tidak bisa diatasi.
Salah satu tujuan sistem Pemilu adalah membudayakan atau membiasakan bagi banyak pihak, baik peserta pemilu, penyelenggara dan pemilih. Karena itu, kata August, pakar di banyak negara sepakat bahwa sistem Pemilu itu sebaiknya tidak diubah-ubah. Setelah 2 atau 3 kai diterapkan, bisa dilakukan evaluasi sisi yang harus diperbaiki. Namun, tidak selalu harus mengubah sistemnya, karena bisa membingungkan partai politik maupun pemilih.
Dalam keterangan resmi yang dikeluarkan Sabtu lalu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengaku prihatin dengan jatuhnya banyak korban “Saya sebagai Mendagri atas nama pemerintah sangat prihatin banyaknya musibah yang menimpa anggota KPPS, pengawas Pemilu, aparat pemda, anggota Polri serta anggota TNI yang kecelakaan, sakit, hingga wafat karena tanggung jawab yang berat saat pelaksanaan di lapangan,” kata Tjahyo.
Sejumlah gubernur, bupati dan walikota telah mengambil inisiatif memberikan santunan kepada keluarga petugas yang meninggal dan sakit. Untuk langkah itu, Mendagri menyampaikan terima kasih. Tjahyo juga menambahkan, semua peristiwa ini akan menjadi catatan evaluasi secara menyeluruh dan lengkap yang akan dilakukan pemerintah seusai Pemilu.
Tjahyo juga memastikan seluruh pihak bekerja independen. Jika terdapat ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu, pemerintah meminta dilakukan melalui jalur konstitusional. Ada Gakumdu di Bawaslu, bisa melapor ke DKPP terkait pelanggaran kode etik perilaku anggota KPU dan Bawaslu. Sedangkan sengketa hasil Pemilu diajukan ke Mahkamah Konstitusi. “Semua masyarakat dapat mengakses dan menyampaikan laporan kepada lembaga-lembaga tersebut dan bersifat terbuka bagi siapapun,” tambah Mendagri.
Bijak Sikapi Hasil Pemilu
Meski pemerintah menjamin Pemilu berjalan transparan dan seluruh saluran hukum tersedia untuk berbagai pelanggaran, di lingkup pemilih nampaknya keresahan masih terasa. Perdebatan di media sosial begitu terasa dan dikhawatirkan memperuncing pemisahan masyarakat yang muncul sejak 2014. Pakar komunikasi politik dari Universitas Hasanuddin Makassar, Aswar Hasan menilai, semua ini buah dari gencarnya hoaks di media sosial.
“Masyarakat resah karena Pemilu kali ini terkontaminasi hoaks, sehingga ada kesulitan membedakan mana yang hoaks dan mana yang bukan,” kata Aswar.
Dampak hoaks jelas sekali terlihat saat ini, kata Aswar. Misalnya ketidakpercayaan pemilih terhadap hasil hitung cepat, upaya mempertanyakan integritas KPU, dan kegalauan masyarakat akibat dua kubu yang sama-sama menyatakan menang.
Merunut ke depan, informasi tentang proses Pemilu di luar negeri yang diwarnai dugaan kecurangan telah membentuk persepsi masyarakat. Dalam kondisi ini, kata Aswar, di benak masyarakat tertanam kepercayaan, bahwa kecurangan memang ada. Untuk menekan dampaknya, pemerintah harus independen dan penyelenggara Pemilu harus profesional dan obyektif. Selain itu, Aswar menggarisbawahi peran media yang harus mampu menyampaikan informasi seobyektif mungkin.
“Bolanya sekarang ada di KPU dan Bawaslu, oleh karena itu pernyataan mereka harus benar-benar terukur, faktual dan obyektif. Jangan mengundang provokasi. Dalam situasi seperti ini, KPU dan Bawaslu harus betul-betul menjaga integritas dan kredibilitas mereka, untuk merawat kepercayaan masyarakat. Jika kepercayaan itu runtuh, sangat berbahaya bagi proses demokrasi kita,” tambah Aswar. [*]
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia