WASHINGTON DC – Belum lama ini, pria asal Bali, Rio Koeswan, bersama timnya di studio animasi Jam Filled Entertainment yang berlokasi di Ontario, Kanada, berhasil meraih penghargaan di ajang Daytime Emmy Awards di Amerika untuk kategori serial animasi kanak-kanak atau “Outstanding Children’s Animated Series” atas penggarapan serial televisi di jaringan Nickelodeon, bertajuk, “the Loud House.”
“Nickelodeon adalah klien kita di Amerika. Semua kerjaan kita di sini biasanya kliennya dari Amerika. “The Loud House itu kemarin menang di Emmy Awards. Jadi yang menang adalah (musim tayang ke-4),” jelas Rio Koeswan kepada VOA.
Hobi menonton film kartun dan menggambar sejak masih berumur empat tahun ternyata menjadi salah satu faktor yang mendorong Rio Koeswan untuk terjun ke industri animasi. Kini di studio Jam Filled Entertainment, Rio menjabat sebagai layout supervisor.
“Layout adalah latar belakang. Jadi latar belakang yang belum diwarnakan. Jadi misalnya, programnya pakai Photoshop, jadi untuk kita menggambar, misalnya sebuah pohon atau rumah atau mobil yang (hitam dan putih) ya itu namanya layout,” jelas Rio Koeswan kepada VOA.
Pria yang lahir dan besar di Bali ini pindah ke Kanada pada tahun 2003, ketika baru berumur 19 tahun. Sempat melanjutkan SMA di Kanada, Rio lalu kuliah di Alqonquin College mengambil jurusan animasi selama tiga tahun. Sungguh beruntung karena di tahun 2006 yang juga adalah tahun ke-3 sebelum lulus kuliah, Rio sudah berhasil mendapat pekerjaan.
“Saya tanya sekolah, ‘bisa nggak saya sambil kerja sambil sekolah?’ Dia bilang bisa. Jadi saya kerja full time, tapi sekolahnya jadi (paruh waktu), cuman dapat diploma juga terakhirnya,” kata Rio.
Selain di studio Jam Filled Entertainment, Rio juga pernah berkarir di beberapa studio lainnya, salah satunya Mercury Filmworks, studio besar di Kanada. Menurut Rio, di dalam industri animasi, berpindah-pindah studio untuk bekerja adalah hal yang biasa, karena biasanya para pelaku di industri ini adalah freelancer yang pekerjaannya terkait kontrak.
Namun, untuk menduduki posisinya yang sekarang sebagai supervisor, tidaklah mudah. Bahkan, waktu baru terjun ke dunia ini, ia tidak bisa langsung mengerjakan layout.
“Jadi kalau kita baru mulai, biasanya (batu loncatan pertama) itu jadi animator dulu,” ujarnya.
Setelah tiga tahun menjadi animator, Rio teringat akan hobinya menggambar layout saat masih sekolah dulu. Ia pun lalu berusaha membangun jaringan dengan para pelaku animasi di departemen-departemen lain.
“Saya pengen nyoba layout, terus saya ngobrol-ngobrol sama (kepala departemen) yang di layout. Terus kebetulan dia bilang, ‘OK, saya bisa kasih kamu tes, kita lagi nggak butuh full time.’ Saya bilang saya nggak butuh full time, karena full time saya sebagai animator,” jelasnya.
Untuk mendapatkan pekerjaan di bidang layout, Rio pun rela bekerja delapan jam sebagai animator, lalu setelahnya meluangkan waktu untuk mengerjakan tes yang diberikan di rumah, hingga pada akhirnya tahun 2014, untuk pertama kalinya Rio menjadi layout supervisor di sebuah studio bernama, the Kratz Brothers, yang mengerjakan serial televisi yang sekarang tayang di layanan streaming online, Netflix. Hingga kini, Rio sudah terlibat dalam penggarapan sekitar 20 serial televisi, termasuk “Wild Kratz,” “Pinky Malinky,” “Final Space,” dan “the Loud House,” juga film-film yang berdurasi 90 menit misalnya, yang ditayangkan di televisi atau Netflix.
“Semoga nanti di tahun-tahun ke depan dapat kesempatan untuk bisa kerja di layar lebar ya,” ujarnya.
Saat ini Rio tengah sibuk terlibat sebagai supervisor untuk penggarapan serial “DC Super Hero Girls.” Sebagai supervisor, ia lebih banyak mengawasi sekitar lima anak buahnya. Namun, sebagai seniman yang sudah senior, ia masih suka diminta menggambar jika diminta membuat demo atau pilot untuk sebuah serial baru.
Mengenai persaingan dalam mencari pekerjaan di industri animasi di Kanada, sebagai salah satu pelaku senior Rio mengatakan, semua kembali kepada portfolio masing-masing dan tidak melihat kepada warna kulit.
“Kita tidak melihat apakah mereka (warga Kanada) atau imigran, karena dari portfolio kita tidak bisa melihat, kan?” ujarnya.
“Jadi intinya kalau bagus portfolio-nya dan kebetulan show yang kita kerjakan style-nya benar-benar sama, (besar kemungkinannya kami) akan (mempekerjakan) ini orang,” tambahnya.
Portfolio yang akan dipertunjukan juga harus sesuai dengan standar studio yang dituju, yang bisa membuat mereka tertarik.
“Misalnya studio B, dia lebih ke yang (konten dewasa), (seperti) “Futurama” atau “Family Guy,” jadi mungkin bisa menggambar setuatu yang seperti show yang mereka kerjakan,” jelasnya.
Rio berpesan, meskipun memiliki bakat, jika ingin terjun ke dunia animasi, harus rajin menggambar dan tidak lupa harus mau bekerja keras.
“Meskipun berbakat, kita bisa (gagal) juga,” jelasnya.
Berdasarkan pengalaman, Rio banyak memiliki teman sekolah yang tidak terlalu berbakat, namun adalah pekerja keras yang kemampuannya lalu bisa sejajar dengan mereka yang berbakat.
“Jadi yang berbakat harus terus bekerja keras juga,” paparnya.
Untuk ke depannya, Rio berencana berbagi ilmu dan bertukar pikiran dengan para pelaku industri animasi di Indonesia untuk mempelajari perkembangan terbaru, sekaligus mengetahui kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh pelaku industri animasi di Kanada. (*)
Sumber Berita dan Foto: VoA Indonesia