GORONTALO – Tahun kedua pelaksanaan pameran seni Maa Ledungga di desa Huntu, Kabupaten Bone Bolango semakin meriah dan menyita perhatian. Kegiatan yang digagas oleh para seniman yang tergabung dalam Tupalo resmi dimulai pada Rabu (11/12/2019).
Merujuk dari namanya, Maa Ledungga memiliki arti “telah datang” masa panen padi di Gorontalo. Para seniman dan masyarakat desa Huntu ingin menyambut masa panen padi itu dengan sebuah perayaan kesenian.
Kurator pameran seni Maa Ledungga, Wayan Seriyoga Parta mengungkapkan Maa Ledungga merupakan kegiatan seni yang digagas bersama masyarakat Desa Huntu Selatan dan melibatkan para seniman yang ada di seluruh Gorontalo.
“khususnya seniman yang tergabung pada Tupalo, tidak hanya dari Gorontalo tetapi juga seniman Gorontalo yang tinggal di luar daerah. kegiatan ini juga didukung penuh oleh masyarakat,” ujar Wayan Seriyoga pada pembukaan pagelaran seni Maa Ledungga (11/12).
Ia mengatakan untuk para seniman luar daerah berasal dari Jogja, Jawa Timur, Bali dan Jakarta. Menariknya, Pagelaran seni itu digelar disebuah gudang penggilingan padi milik warga.
“Kami menyulap gilingan padi, penyimpanan padi, penyimpanan beras, untuk itu kami berterimakasih sekali pada bapak pemilik gilingan yang telah memberikan kesempatan menghadirkan karya-karya nasional di ruang ini,” katanya.
Sementara itu kolektor dan kurator asal Magelang, Dr. Oei Hong Djien yang turut hadir dalam acara itu mengaku memiliki kesan bahwa Gorontalo adalah tempat yang subur. Pemilik museum OHD itupun berharap di tahun yang akan datang, Gorontalo akan menyambut panen raya seni rupa.
“Maa Ledungga Ini menyambut panen raya padi, mudah-mudahan kita di dalam beberapa tahun yang akan datang kita juga akan ada panen raya seni rupa di Gorontalo,” harap Dr. Oei yang juga dijuluki sebagai The Godfather perupa kontemporer Indonesia.
Dr. Oei turut mengapresiasi pemilik gudang pengilingan padi yang bersedia tempatnya dijadikan lokasi pagelaran seni. Ia pun teringat tentang kota asalnya yang merupakan penghasil tembakau.Dikota itu, Dr Oei bersama seniman lain melakukan upaya pendekatan untuk mengajak masyarakat di daerahnya dapat menyukai seni.
“Akhirnya, mau tidak mau dengan dorongan seniman dan masyarakat membuat museum privat tapi terbuka untuk publik, dan akhirnya beberapa gudang tembakau kami, kami konversikan menjadi museum,” katanya.
Mencontoh daerahnya sebagai lumbung penghasil tembakau dan mengkonversikan gedung penyimpanan tembakau menjadi museum. Ia pun berharap, Gorontalo yang digadang-gadang sebagai pusat kesenian Sulawesi itu, akan ada penggilingan padi yang dikonversikan menjadi sebuah museum seni rupa. (IYS)