Dukungan Pemekaran Papua dan Ruang Baru Berebut Kekuasaan

Pemekaran Papua
Para pengunjuk rasa Papua mengangkat tangan mereka saat melakukan protes menuntut kemerdekaan di Jayapura, Papua,16 Oktober 2008. (Foto: Reuters/Oka Daud Barta)

Pojok6.id (Papua) – Sejumlah kepala daerah di Papua memastikan posisi politiknya dengan memberikan dukungan terbuka rencana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) atau pemekaran wilayah. Bagi politisi, pemekaran tentu menarik karena menjadi ruang baru berebut ruang kekuasaan.

Dengan penuh semangat, Bupati Kabupaten Mimika Eltinus Omaleng mendeklarasikan dukungannya terhadap pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah, Rabu (15/6). Ribuan warga kabupaten itu berkumpul di Mile 32, Distrik Kuala Kencana, Mimika.

“Dan kita akan menentukan masa depan anak-anak Papua, oleh karena itu semua harus masuk dan mendukung, jangan ada yang tinggal di luar. Deklarasi wilayah Meepago, saya Ketua Asosiasi Bupati Meepago atas nama tujuh kabupaten, hari ini kita deklarasi,” kata Eltinus.

Read More

Bupati Eltinus juga mengklaim deklarasi ini mewakili aspirasi seluruh masyarakat di wilayah yang dipimpinnya.

“Warga Kabupaten Mimika, 350 ribu jiwa yang ada di Kabupaten Mimika, saya atas nama mereka, anggaplah siapapun yang datang dan tidak datang, itu sah. Tidak ada cerita tolak. Atas nama 350 ribu warga, saya nomor satu bicara, berarti anggap sudah mendukung,” tambah Eltinus lagi, seperti disampaikan dalam rilis pemerintah Kabupaten Mimika.

Secara tidak langsung, Eltinus juga mendeklarasikan diri untuk kemungkinan maju sebagai calon gubernur di Provinsi Papua Tengah jika sudah resmi berdiri. Eltinus meminta peserta deklarasi menyambut dengan sautan keras ketika di panggung dia meneriakkan kata-kata seperti otonomi khusus, pemekaran, Provinsi Papua Tengah dan gubernur.

Dalam kesempatan berbeda, pada Selasa (14/6), pejabat Gubernur Papua Barat, Paulus Waterpauw, menyampaikan deklarasi rakyat Papua Barat yang berisi dukungan pembentukan DOB. Dokumen dukungan itu diklaim didukung para kepala daerah di Papua Barat, tokoh adat dan tokoh agama.

Sebelumnya pada 10 Juni 2022, para bupati dan pejabat lokal dari 29 kabupaten/kota di Papua mengadakan pertemuan di Jayapura. Tercatat hanya enam bupati yang hadir dalam forum ini secara langsung.

Pertemuan itu disebut sebagai Rapat Khusus Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Sesuai dengan Wilayah Adat Papua. Beberapa poin hasil pertemuan itu adalah dukungan terhadap otonomi khusus (otsus), mendesak pemerintah pusat segera membentuk DOB, pemekaran provinsi dan kabupaten harus diikuti formasi khusus penerimaan ASN, TNI dan Polri dari Orang Asli Papua (OAP).

Selain itu, pertemuan juga meminta jumlah alokasi kursi anggota DPR RI, DPD RI dari Provinsi Papua dan provinsi pemekaran minimal mendapatkan jatah lima orang secara proposional, serta bahwa bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota harus orang asli Papua.

Jika konsep ini dipenuhi, maka dengan DOB akan ada lebih banyak posisi untuk gubernur, bupati/wali kota dan wakilnya, anggota DPR, DPD dan juga DPRD. Itu bermakna, akan ada jauh lebih banyak politisi lokal Papua yang tertampung dalam kursi kekuasaan.

Seorang aktivis Papua yang mengenakan bandana dan masker ikut protes menuntut referendum. (Foto: Reuters)

Tidak Mewakili Masyarakat

Namun, deklarasi yang diklaim Eltinus Omaleng mewakili masyarakat Meepago, disanggah oleh tokoh muda Abniel Doo. Dia adalah mantan Ketua Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Mee (IPPMMee) se- Jayapura. Saat ini, Abniel adalah ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Universitas Cenderawasih.

Papua memiliki tujuh wilayah adat, salah satunya adalah Meepago. , Abniel mengatakan kepada VOA bahwa Mimika itu hanya satu kabupaten dari seluruh wilayah adat Meepago. Secara total, ada tujuh kabupaten/kota di wilayah adat ini, yaitu Intan Jaya, Puncak Papua, Nabire, Deiyai, Dogiyai, Paniai dan Mimika sendiri.

“Jadi pernyataan yang disampaikan Bupati Eltinus Omaleng itu tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. Karena bupati ini, dia hanya seorang bupati dan satu orang saja dia mengatasnamakan rakyat, itu tidak masuk akal. Kita kategorikan, dia hanya bicara inisiatif sendiri,” kata Abniel.

Di sisi lain, Abniel menganggap wajar jika Bupati Mimika berbicara soal dukungan terhadap otsus dan DOB. Sebagai birokrat, bupati adalah bagian dari pemerintah Indonesia. Namun, apa yang dia sampaikan tidak dapat diklaim sebagai pendapat yang mewakili masyarakat adat Meepago. Deklarasi yang digelar pada Rabu, juga hanya berlangsung di Mimika, tidak di wilayah lain dalam wilayah adat tersebut.

Abniel mengingatkan, masyarakat adat belum lama menggelar aksi penolakan DOB mulai dari Dogiyai, Deiyai, Paniai hingga Nabire. Sikap itu harus dilihat sebagai pernyataan masyarakat adat yang sebenarnya.

Terkait apakah ada agenda politik di belakang deklarasi dukung DOB ini, Abniel mengaku belum bisa menilai secara pasti. Juga, apakah dukungan kepala daerah ini berkaitan dengan pengusutan kasus-kasus korupsi yang dilakukan KPK di Papua.

“Kalau dilanjut soal mau rebut posisi nomor satu, kita tidak tahu. Dia bilang siap menjadi gubernur Papua Tengah, terus lanjutkan pemekaran, DOB dan otsus. Tapi itu tidak bicara dari seluruh elemen masyarakat wilayah adat Meepego. Dia hanya bisa inisiatifnya sendiri,” tegas Abniel.

Abniel juga menyebut, sejumlah bupati dan elit politik lokal belakangan memang banyak berbicara mendukung DOB. Namun, dia menduga itu karena masa jabatan mereka yang akan habis.

“Bicara soal kepentingan, karena masa jabatannya sudah selesai, maka mereka mengejar jabatan berikut di DOB. Mereka punya lahan untuk berebut posisi. Hanya kepentingan itu saja, karena beberapa bulan lagi, mereka punya jabatan akan turun,” tambahnya.

Banyak Faktor Dukungan

Aktivis kemanusiaan Papua, Marthen Goo, menganalisa sejumlah alasan yang bisa mendorong kepala daerah atau elit lokal Papua, menyatakan dukungan pembentukan DOB.

“Pertama, mungkin diiming-imingi, bahwa kami akan dorong kamu di wilayah baru. Kedua, bisa juga itu misalnya karena mereka mungkin ada dugaan-dugaan kasus korupsi, atau kasus penyalahgunaan, yang kemudian itu menjadi tameng supaya melakukan apa yang diinginkan oleh pihak-pihak lain,” kata Marthen kepada VOA.

Jika terkait kasus korupsi, bisa jadi ada janji jika seorang bupati atau elit politik Papua mendukung DOB, maka proses hukumnya tidak diteruskan. Sebaliknya, jika tidak mendukung, ada kemungkinan kasus hukum berlanjut.

Faktor ketiga, lanjut Marthen, dukungan itu memang merupakan keinginan pribadi elit politik lokal. Dasar bersikapnya adalah keyakinan, bahwa agar bisa memperoleh kekuasaan yang lebih tinggi, maka harus ada provinsi baru. Bisa juga, karena mereka merasa bersaing di satu tempat kecil, mempersempit kemungkinan terpilih karena rakyat Papua tidak lagi percaya kepada mereka.

“Jadi kalau di satu tempat saja itu justru akan sangat susah, makanya harus didorong pemekaran sebanyak-banyakya, supaya mereka ada ruang bersaing. Jadi lebih kepada bagaimana menciptakan ruang bersaing,” tegasnya.

Kemungkinan lain adalah tekanan atau intimidasi yang datang dari partai politik atau pihak lain. Kepala daerah yang takut kehilangan jabatan, akhirnya memenuhi desakan untuk mendukung DOB.

Marthen yang juga Koordinator Komunitas Papua Pemerhati Ketatanegaraan Indonesia, mengingatka bahwa bupati hanyalah kepala daerah, bukan tokoh adat dan jabatan tersebut juga bukan bagian dari masyarakat adat. Jika ditilik lebih jauh, yang bisa disebut mewakili aspirasi masyarakat sebenarnya adalah DPRD, itupun jika mereka benar-benar bersuara sesuai keinginan rakyat.

Jabatan seorang bupati, menurutnya, lebih mewakili pemerintah pusat di daerah. Karena itu, tegas Marthen, bupati seperti Eltinus Omaleng, tidak bisa mengklaim mewakili aspirasi masyarakat. Pihak eksekutif, lanjut Marthen, tidak bisa mengatasnamakan rakyat, mereka sebenarnya pelaksana pembangunan, yang diberikan kewenangan oleh undang-undang.

“Karena dia pemimpin daerah, dia tidak bisa mengatasnamakan rakyat. Kalau posisi itu sudah clear, berarti ketika dia seperti yang tadi disampaikan, itu menggambarkan bahwa mungkin karena kekuasaannya sudah mau berakhir, jadi dia sedang berpikir bagaimana supaya bisa dapat kekuasaan berikut, begitu,” ujar Marthen.

Terkait motivasi dukungan DOB karena ingin mencalonkan diri menjadi gubernur di provinsi hasil pemekaran, menurut Marthen, merupakan hak politik yang dijamin. Namun, dalam wacana pemekaran, seharusnya syarat-syarat formil proses pembentukan DOB dipenuhi terlebih dahulu. Aksi penolakan yang meluas di Papua, harus memperoleh perhatian tersendiri.

“Kalau misalnya aspirasi rakyat dan yang mereka sampaikan itu sesuatu yang berlainan, patut kita pertanyakan, ada apa ini. Kalau rakyat tolak, ya kita hormati. Karena itu bagian dari kedaulatan rakyat,” ucap Marthen. [voa]

Related posts