Dua Biksu Thailand Manfaatkan Media Sosial untuk Sampaikan Ajaran Buddha

Biksu Thailand
Biksu Buddha Phra Maha Sompong Talaputto dan Phra Maha Paiwan Warawanno menjadi pembawa acara obrolan selama siaran langsung Facebook, di sebuah kuil di Bangkok, Thailand, 17 September 2021. (Foto: REUTERS/Arthon Pookasook)

Dua biksu Buddha di Thailand merangkul generasi muda dengan memanfaatkan untuk menyampaikan ajaran Budha, atau Dharma.

Pojok6.id (Dunia) – Setiap Jumat malam, biksu Buddha Thailand  Phra Maha Paiwan Warawanno memasang ponselnya di sebuah tripod, memasang mikrofon di jubah kuningnya sebelum duduk di belakang meja di di ruang kerjanya yang kecil bersama dengan seorang biksu lainnya.

Tayangan Facebook live, di mana kedua biksu itu membahas ajaran-ajaran Buddha, atau Dharma, siap dimulai.

Read More

Dengan mengambil pokok-pokok bahasan yang relevan, kedua biksu ini menyampaikan lelucon yang penuh dengan Dharma. Mereka mengganti jargon-jargon agama dengan slang atau bahasa gaul dan ungkapan sehari-hari serta menambahkan banyak tawa untuk menyampaikan nasihat kehidupan modern.

Popularitas kedua biksu itu meroket dalam beberapa pekan belakangan di kalangan warga Thailand yang paham Internet, yang kebanyakan di antara mereka merasa ajaran tradisional Buddha telah ketinggalan zaman dan tidak dapat diakses dengan tata krama di kuil serta lantunan doa dalam bahasa Sansekerta yang tidak dapat dipahami.

Tayangan live Facebook setiap Jumat ini biasanya menarik ratusan ribu penonton dalam beberapa menit saja. Rekor mereka sejauh ini adalah dua juta orang yang menonton sekaligus dalam satu waktu.

Paiwan, biksu berusia 30 tahun yang pengikutnya menjulang lebih dari 800 persen menjadi 2,5 juta dalam waktu satu bulan lebih sedikit, mengatakan, ia memulai siaran live di Facebook untuk membuat ajaran Buddha tetap relevan di tengah masyarakat Thailand, setelah munculnya berbagai skandal kuil mulai dari pembunuhan, narkoba hingga seks serta investigasi mengenai pencucian uang dalam beberapa tahun ini yang telah membuat para penganut yang taat merasa tak nyaman dan membuat penganut Buddha lainnya menjauh.

Seorang biksu mengambil gambar sementara biksu dan samanera berkumpul di kuil Wat Phra Dhammakaya. (Foto: REUTERS/Jorge Silva)

“Ajaran Buddha tidak usang tetapi metode pengajarannya begitu ketinggalan zaman. Kita tidak menyebarkan ajaran-ajaran itu dengan cara lama lagi karena ini terlalu terbatas pada ceramah dan sebangsanya. Ini hanya akan menjangkau sekelompok orang tertentu, orang-orang tua. Jadi pertanyaan saya adalah: apakah ajaran Buddha harus bertahan hanya pada generasi tua? Mereka pada akhirnya akan mati. Tanpa melakukan pendekatan ke generasi muda, di mana tempat agama pada masa depan? Agama akan ditinggalkan dan saya tidak ingin ini terjadi,” paparnya.

Sebelum itu, ia mengemukakan bahwa cara pikir orang-orang muda telah berubah. Sebagian dari mereka masih percaya pada agama, namun sebagian besar dari mereka lebih percaya pada ajaran yang masuk akal, tidak sampai ekstrem mengenai berbuat kebajikan atau hal-hal baik untuk menggapai surga dan sebangsanya, kata Paiwan.  Karena itu, lanjutnya, kalau mereka tidak peduli pada kehidupan akhirat, agama harus memberi jawaban dalam realitas untuk memperbaiki kehidupan mereka.

Tayangan live ini dimulai di tengah-tengah wabah terburuk COVID-19 Thailand dan pada bulan-bulan diberlakukannya larangan keluar rumah pada malam hari. Ini memberikan kelegaan yang sangat diperlukan oleh banyak orang yang kini punya banyak waktu luang sebelum tidur.

“Kalau Anda memasuki kuil, Anda akan melihat hampir-hampir tidak ada orang berkunjung. Jumlah orang dari berbagai kalangan masyarakat telah berkurang, dan khususnya dengan pandemi COVID-19, mereka hampir semuanya menghilang. Jadi, kami beralih daring. Orang-orang menggunakan ponsel mereka dan begitu pula para biksu. Jadi di manapun arah perhatian mereka, di situlah kami harus menyampaikan Dharma,” kata rekan Paiwan, Phra Maha Sompong Talaputto. Ia adalah biksu berusia 42 tahun yang memiliki 1,4 juta pengikut di Facebook

Ia menambahkan, live streaming seperti acara bincang-bincang diselenggarakan untuk menarik agar orang-orang tetap menyimak. Ia dan Paiwan harus membuat acara itu menyenangkan sehingga orang tetap terus ingin menonton dan mendengar. Ajaran-ajaran Buddha dan ajaran agama lainnya, kata Sompong, adalah hal baik. Sangat disayangkan kalau ajaran-ajaran itu diabaikan karena orang meninggalkan ajaran yang mereka anggap membosankan.

Meskipun mereka sangat populer di kalangan generasi muda, Paiwan dan Sompong telah mengundang kecaman dari kalangan konservatif Buddha yang menganggap canda tawa mereka tidak pantas.

Di Thailand, Buddha kerap ditandai dengan begitu banyak pertemuan atau konvensi dan formalitas. Para biksu diharapkan menjadi sosok yang tenang dengan pandangan tertuju hanya pada Dharma dan tidak turut campur dalam urusan duniawi. Bulan lalu, kedua biksu itu dipanggil oleh sebuah komite di parlemen mengenai agama. Keduanya diminta menjelaskan aktivitas online mereka, dan tokoh-tokoh senior di pemerintahan dan masyarakat memperingatkan keduanya agar mengurangi lelucon dan “perilaku yang tidak pantas.”

Pemula Buddhis berpose saat para biksu berkumpul di Pathum Thani, di luar Bangkok 22 April 2016. (Foto: REUTERS/Jorge Silva)

“Perilaku para biksu haruslah terhormat di mata publik. Tidak perlu berubah seiring waktu untuk menarik orang-orang muda. Masih ada orang yang lebih suka tradisi kultural asli yang tidak bisa menerima cara baru seperi ini dan itu akan menyebabkan kemunduran Buddha, yang telah eksis selama hampir 2.600 tahun tanpa perlu melakukan perubahan,” kata Kepala Asosiasi Perlindungan Konstitusi, Srisuwan Janya.

Mengenai pemanggilan tersebut, Phra Paiwan malah bergurau, “Tertawa kini jadi masalah nasional!”

Terlepas dari pendekatan modern, penggemar seperti Onravee Tangmeesang, 32 tahun, mengatakan, upaya para biksu untuk melibatkan hadirin dengan membacakan komentar atau menjawab pertanyaan, dalam siaran langsung, membuat ajaran ini lebih mudah dijangkau, tidak seperti konvensi para penganut Buddha di Thailand di mana komunikasi dilakukan dengan ceramah yang sifatnya satu arah saja.

“Saya bisa bilang bahwa menonton tayangan live mereka menambah semacam perasaan positif, setidaknya sedikit hal positif dalam hidup saya. Dan inilah yang benar-benar kami perlukan semasa pandemi. Kita telah menjalani hari-hari yang penuh stres dan tawa para biksu dapat benar-benar mencerahkan hari saya,” komentarnya. [voa]

Related posts