GORONTALO – Berbagai macam praktek intoleransi di Indonesia membuat resah Rektor Universitas Negeri Gorontalo, sebab intoleransi yang tinggi di Indonesia akan menjadi bara konflik dan bisa menghambat kemajuan negeri.
Di Gorontalo, tepatnya di Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, ada sebuah desa yang menjadi teladan praktek toleransi multi etnis dan lintas agama, yakni Desa Banuroja.
Banuroja adalah desa yang dihuni oleh sembilan suku (Lombok, Gorontalo, Sangihe, Flores, Minahasa, Bali, Jawa, Toraja dan Batak) dan tiga agama (Islam, Kristen, dan Hindu). Menurut Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Eduart Wolok, Banuroja sebagai miniatur praktek toleransi atas keberagaman di Indonesia. Banuroja juga memiliki kelembagaan lokal dalam mengatasi konflik lokal, sehingga dalam kurun waktu lebih dari sepuluh tahun, tidak ada sama sekali laporan kriminal yang tercatat di Polsek Randangan.
Atas dasar itu, Universitas Negeri Gorontalo bersama Pemerintah Kabupaten Pohuwato mencanangkan Banuroja menjadi Desa Pancasila pada Kamis, 16 Januari 2019. UNG dan Pemkab Pohuwato melihat, jika Indonesia perlu model praktek toleransi sehingga bisa jadi virus kebaikan bagi daerah lain.
“Kami (UNG dan Pemkab Pohuwato) memiliki ikhtiar untuk menjaga keberagaman dan toleransi di Indonesia. Desa Banuroja adalah contoh keteladanan pengelolaan keberagaman dan toleransi di Indonesia”., tegas Eduart Wolok.
Dalam kesempatan itu, Bupati Pohuwato Syarief Mbuinga mengungkapkan ditetapkannya Desa Banuroja sebagai Desa Pancasila merupakan persembahan Pemerintah Kabupaten Pohuwato untuk Indonesia.
“Banuroja sebagai Desa Pancasila ini adalah hasil praktek toleransi selama puluhan tahun. Penetapan Banuroja sebagai Desa Pancasila adalah persembahan kami untuk Indonesia. Kita perlu membumikan Pancasila bukan saja sebagai ideologi bangsa, namun bagian dari praktek keseharian dari semua insan Pancasila di Indonesia”., jelas Syarief Mbuinga. (rls)