Oleh: Hanifah Tri Hapsari (Mahasiswa Universitas Indonesia)
Pojok6.id (Tajuk) – Banjir dan longsor yang melanda Aceh bukan hanya merusak rumah warga, tetapi juga menghancurkan rasa aman ribuan masyarakat. Air menerjang pemukiman, jalan terputus, listrik padam, dan aktivitas warga lumpuh total. Banyak keluarga terpaksa mengungsi ke tempat yang seadanya, tidur beralas tikar tipis, berbagi ruang dengan orang-orang yang sama-sama kehilangan rumah. Di tengah kondisi genting seperti inilah keberadaan pemimpin menjadi sangat berarti. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, ketika publik mendapati bahwa Bupati Aceh Selatan memilih berangkat umrah di saat rakyatnya sedang berjuang menghadapi bencana.
Data dari BNPB mencatat bahwa bencana ini menyebabkan 37.546 rumah rusak, 366 korban meninggal dunia, dan 97 orang dinyatakan hilang. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tetapi potret nyata penderitaan rakyat. Di balik setiap rumah yang rusak, ada keluarga yang kehilangan tempat berteduh. Di balik angka korban, ada anak yang kehilangan orang tua, ada orang tua yang kehilangan anak. Dalam kondisi seperti ini, rakyat membutuhkan lebih dari sekadar bantuan logistik. Mereka membutuhkan kehadiran pemimpin yang menyapa langsung, memastikan bantuan berjalan, dan meyakinkan bahwa mereka tidak sendirian.
Namun, ketika pemimpin tidak berada di tempat, rakyat harus menghadapi bencana dengan daya mereka sendiri. Banyak warga harus mengandalkan bantuan relawan, organisasi kemanusiaan, hingga sesama warga. Bahkan di media sosial terlihat bagaimana publik figur, influencer, dan komunitas turun langsung ke lapangan, menggalang donasi, serta menyalurkan bantuan hingga bernilai miliaran rupiah. Ada yang menyumbang ratusan juta, bahkan hingga belasan miliar rupiah. Fenomena ini menyentuh, tetapi sekaligus memunculkan pertanyaan besar: di mana peran utama pemimpin daerah saat rakyat justru diselamatkan oleh solidaritas sesama warga?
Di titik inilah kritik publik semakin menguat. Ketika rakyat berjuang menyelamatkan satu sama lain, pemimpin yang seharusnya berada di garis depan justru tidak hadir di tengah mereka. Ketidakhadiran tersebut menimbulkan kesan bahwa rakyat dibiarkan bertahan sendiri di tengah bencana. Foto keberangkatan umrah yang beredar luas di media sosial semakin memperdalam luka kekecewaan publik. Salah satu komentar warganet berbunyi, “Pemimpin gini.. hatinya terbuat dari apa, sampai tidak mengurus rakyatnya.” Kalimat ini menggambarkan betapa dalam rasa kecewa yang dirasakan masyarakat.
Rakyat yang terdampak bencana bukan hanya kehilangan harta benda, tetapi juga kehilangan kepastian hidup. Mereka harus mengantre bantuan, berebut kebutuhan pokok, menghadapi risiko penyakit, dan hidup dalam ketidakpastian kapan bisa kembali ke rumah. Dalam kondisi serba terbatas ini, kehadiran pemimpin seharusnya memberi kekuatan moral bahwa negara tidak menutup mata. Namun, ketika pemimpin justru absen, perasaan ditinggalkan pun semakin kuat.
Persoalan ini bukan semata soal izin administrasi atau prosedur keberangkatan. Inti masalahnya adalah soal empati dan tanggung jawab. Jabatan kepala daerah bukan hanya jabatan struktural, tetapi amanah untuk berada bersama rakyat, terutama saat kondisi paling sulit. Ketika rakyat berada di bawah, pemimpin seharusnya berada di titik yang sama, bukan justru menjauh.
Ketidakhadiran pemimpin di tengah bencana juga berdampak langsung pada kepercayaan rakyat. Kepercayaan tidak dibangun dari pidato atau baliho, tetapi dari kehadiran nyata di saat krisis. Ketika kepercayaan itu retak, hubungan antara rakyat dan pemimpinnya pun ikut terguncang. Rakyat mulai mempertanyakan, untuk siapa sebenarnya kekuasaan itu dijalankan?

Gelombang kritik kemudian tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari pemerintah pusat. Pemeriksaan oleh Kemendagri menunjukkan bahwa persoalan ini dipandang serius. Namun, bagi rakyat di lapangan yang terpenting bukanlah proses birokrasi semata, melainkan perasaan bahwa mereka tidak dibiarkan sendirian menghadapi bencana.
Peristiwa ini memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa kepemimpinan diuji bukan saat kondisi normal, tetapi justru ketika krisis datang. Dalam situasi darurat, rakyat tidak membutuhkan pemimpin yang hanya hadir dalam pemberitaan, tetapi pemimpin yang turun langsung ke lokasi, berdiri bersama warga, dan memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam penderitaan.
Ketika pemimpin absen, yang menguat justru solidaritas antarwarga. Rakyat membantu rakyat. Gotong royong muncul dari bawah, sementara figur pemimpin yang seharusnya menjadi penggerak utama justru tidak terlihat. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya empati masyarakat, tetapi juga betapa rapuhnya makna kepemimpinan ketika ia tidak hadir di saat yang paling dibutuhkan.
Pada akhirnya, peristiwa ini bukan hanya tentang perjalanan umrah, tetapi tentang makna tanggung jawab seorang pemimpin terhadap rakyatnya. Bencana telah memperlihatkan siapa yang benar-benar berdiri untuk rakyat dan siapa yang justru meninggalkan mereka di tengah kesulitan. Dalam situasi krisis, rakyat tidak menuntut kesempurnaan, mereka hanya menuntut satu hal yang paling mendasar, yaitu kehadiran.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kepemimpinan publik tidak pernah benar-benar bersifat pribadi. Setiap keputusan pemimpin selalu membawa dampak sosial. Ketika pemimpin absen dan rakyat harus berjuang sendiri, maka yang runtuh bukan hanya kepercayaan, tetapi juga makna kepemimpinan itu sendiri.








