Oleh : Arasy Pradana
Gorontalo – Ada satu fragmen menarik sekaligus ironis dari Gorontalo. Walaupun perekonomian kampung halaman saya itu tumbuh di atas rata-rata nasional (7,45% per Agustus 2018), namun tingkat kemiskinannya masih berkutat pada angka 16,8% (per Juli 2018).
Kontributor terbesar dari angka-angka tersebut, yang menyedihkan, datang dari sektor yang sama, yaitu pertanian, perikanan, dan kehutanan. Artinya, sekalipun berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi, namun petani dan nelayan Gorontalo justru masih terjerat kemiskinan akut.
[Jadi, siapa yang sebenarnya tengah menikmati all fine dining dengan angka-angka tersebut? Sungguh misterius.]
Paradoks-paradoks seperti inilah yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah. Apalagi di era UU No. 23/2014, sebagian besar kewenangan pemerintahan yang konkuren ada di tangan mereka; Terutama di tingkat Kabupaten/Kota, di mana kehadiran negara seharusnya semakin familiar dan terasa. Wewenang tersebut juga mencakup arah pengelolaan pertanian rakyat, perikanan lokal, dan pemungutan hasil hutan.
Pemerintah pusat hari ini sekadar memberikan cetak biru dengan cakrawala helikopter (helicopter view) terhadap berbagai sektor kebutuhan masyarakat. Sisanya, mencakup pelaksanaan dan penyesuaian kebijakan dengan kondisi riil di lapangan, sangat bergantung pada kecakapan daerah. Jadi bukan Presiden yang dapat mengubah nasib kolektif kita semua secara signifikan, melainkan Gubernur, Walikota, dan Bupati. Kalau ada masalah-masalah pada pelayanan di tingkat dasar, merekalah yang seharusnya dicari pertama kali.
Namun demikian, sekadar berharap pada Bupati, Walikota, dan Gubernur saja tidaklah cukup. Salah satu cara mengentaskan paradoks-paradoks negatif di dalam masyarakat adalah melalui politik peraturan daerah dan anggaran daerah yang sensitif pada kondisi material masyarakat. Jika peraturan daerah mewakili dimensi kehidupan hukum, maka anggaran daerah masih menjadi soko guru perekonomian daerah (konon, 80-90 persen usaha swasta di Indonesia adalah bentuk perputaran modal di sekitar APBN/APBD).
Baik peraturan maupun anggaran daerah harus disusun dan disetujui oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota dengan mitra pemerintahan mereka, yang tak lain adalah DPRD.
Alih-alih menghabiskan energi untuk bermutasi menjadi Cebi dan Kampret pada pemilu tahun ini, kita seharusnya lebih concern dengan siapa saja yang nantinya akan menjadi wakil-wakil kita di DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Mengenali kapasitas mereka satu persatu, dan jika diperlukan, mengongkosi perjuangan politik kandidat-kandidat terbaik. Bagi saya sifatnya fardhu ain. Wajib tak dibuat-buat.
Untuk itu, inisiatif untuk menggelar “Curah Gagasan Digital” perlu disambut dengan meriah. Alih-alih bersusah menelusuri ratusan ribu jejak digital di Google, platform ini jutru memaksa caleg untuk datang sendiri ke gawai kita. Sebuah kemewahan bagi siapapun orang Gorontalo yang menjadi pribumi (native user) dunia media sosial. Keberanian mereka untuk menghidangkan diri beserta gagasannya di hadapan publik sendiri sebenarnya sudah menjadi satu nilai tambah yang membuatnya layak dipilih.
Siapa tau dari gelaran ini, kita menemukan mutiara-mutiara yang menghadirkan gagasan cemerlang untuk memberantas paradoks buruk Gorontalo kita; seperti hidup petani dan nelayan yang miskin namun bersumbangsih besar terhadap pertumbuhan ekonomi tadi. [*]