Gorontalo – Masih segar dalam ingatan saya, ketika pertama kali mengikuti agenda Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) PGRI, yang dilaksanakan di salah satu hotel di Jakarta pada 22 Desember 2017 silam.
Sebagai agenda yang berskala nasional, kegiatan ini turut dihadiri oleh para utusan pengurus dari seluruh Indonesia dengan beragam jabatan, gelar, pangkat dan beragam usia. Ada yang menjabat Rektor, Kepala Dinas Pendidikan, Dosen dan Guru. Ada juga yang bergelar Profesor, Doktor dan Magister, baik yang sudah lanjut usia maupun deretan para pendidik muda yang kesemuanya menyatu dalam semangat persatuan, melalui pakaian seragam kebesaran PGRI “Kusuma Bangsa”.
Menghadiri perhelatan nasional yang dihadiri oleh para delegasi, yang menjadi Duta Kusuma Bangsa dari berbagai daerah tersebut, membuat saya sempat kurang percaya diri. Apalagi setelah mengamati para pesertanya yang nampak semuanya bergelar Profesor, Doktor dan Magister, ternyata sayalah satu-satunya peserta yang bergelar Sarjana.
Namun rasa tidak percaya diri itu perlahan hilang, setelah saya terlibat diskusi dengan sosok perempuan yang berada di depan saya, yang nampak begitu cerdas, cekatan dan berwawasan luas yang tercermin dari setiap untaian kata dan kalimat yang terucap.
Beliau adalah Dosen di salah satu Universitas ternama di Indonesia, yang belakangan saya ketahui bernama Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. Ketika itu, beliau masih menjabat sebagai Plt Ketua Umum PB PGRI.
Yang menarik dari sosok ini adalah penampilannya yang sederhana, sikap dan cara bertuturnya yang lembut dengan untaian kata dan kalimat yang disampaikannya mampu membangkitkan semangat, dan naluri perjuangan sebagai seorang pendidik. Salah satu pesan yang hingga kini masih terngiang dalam benak saya, adalah harapannya terhadap segenap guru muda di Indonesia untuk senantiasa mendedikasikan tenaga dan pikirannya dalam mengawal berbagai agenda PGRI.
Beliau saat itu juga menekankan, PGRI adalah organisasi profesi guru yang tidak melihat dan memandang latar belakang jabatan, gelar dan pangkat kader PGRI. Melainkan yang menjadi komitmen dan cita-cita PGRI adalah, bagaiamana seluruh Kader PGRI di Indonesia merasa terpanggil, untuk memperjuangkan hak-hak dan martabat guru di Indonesia. Bahkan beliau memberikan motivasi khusus kepada kader PGRI, bahwa organisasi PGRI membutuhkan energi para guru muda dalam menjalankan program dan cita-cita organisasi yang kelak dipersembahkan untuk guru Indonesia.
Hal yang membuat saya lebih bersemangat lagi, adalah ungkapannya yang mengapresiasi langkah PGRI Gorontalo, yang senantiasa merekrut guru muda dalam kepengurusan PGRI.
Dalam perspektif saya, sosok Ibu Unifah Rosyidi seakan menjadi spirit baru dan energi baru bagi PGRI. Hal itu tidaklah berlebihan, karena selain kiprah, kapasitas dan komitmennya yang tinggi untuk guru Indonesia, juga ditinjau dari aspek historis PGRI, beliau adalah Ketua Umum pertama perempuan yang menakhodai PGRI, semenjak organisasi ini lahir pada era Revolusi 25 November 1945 atau 73 tahun silam.
Selain itu, jabatan Ketua Umum di organisasi PGRI yang disandangnya, akan menjadi angin segar bagi para pejuang kesetaraan gender di Indonesia, sekaligus menjadi spirit baru bagi guru perempuan di Indonesia, bahwa perempuan dapat mengambil peran yang strategis di organisasi manapun di negeri ini.
Mengurus organisasi PGRI yang memiliki jutaan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia, memang membutuhkan kepemimpinan yang tangguh. Sosok Ibu Unifah Rosyidi termasuk sosok pemimpin yang tangguh.
Dalam kesehariannya, tentu beliau tidak hanya dihadapkan pada berbagai persoalan guru dan carut-marut pendidikan di Indonesia, tapi juga sebagai seorang ibu. Beliau juga diperhadapkan dengan berbagai tuntutan yang menguras tenaga, pikiran dan waktu. Beliau harus mengurus keluarganya, suami dan anak-anaknya. Hanya perempuan yang tangguh jualah yang mampu menjalani dua dimensi kehidupan tersebut.
Untuk itu untaian doa kami seluruh Guru, khususnya Guru Gorontalo, agar segala bentuk pengabdianmu untuk Guru Indonesia yang terpateri darimu saat ini dan ke depan, akan bernilai ibadah dan menjadi amal baktimu pada agama dan bangsamu.
Biarkanlah semangat kami akan menggantikan waktu-waktu bersama keluargamu, karena dirimu telah kami sematkan sebagai bunda kami, Bunda Guru se Nusantara. Ucapanmu adalah nasehat bagi kami, semangatmu menjadi inspirasi bagi kami dan perjuanganmu menjadi kado bagi kami.
Terima kasih Yunda..terima kasih Bunda Unifah, kau adalah pejuang, kau adalah Kartini bagi kami, kau adalah Cut Nyak Dien baru bagi mereka ayang di Aceh, kau adalah Walanda Maramis bagi mereka yang di Sulawesi, kau adalah bunda bagi kita Guru se Nusantara (*)