Beban Pertanggungjawaban Penyebar Berita Bohong (Hoax)

Ilustrasi hoax media sosial. Foto: istimewa

– Teknologi komunikasi telah menjadi sebuah tumpuan sejarah bagi manusia, terutama dalam dunia komunikasi massa (diantara media sosial), yang memberikan kontribusi dalam ruang aktivitas individu maupun sosial, banyak plus minusnya, tergantung kita/masyarakat menggunakannya.

Saat ini media sosial banyak juga disalahgunakan ke hal hal yang cenderung tidak layak untuk diekspos ke publik, seperti masalah pribadi, rumah tangga maupun status dan kicauan yang bersifat mendiskreditkan seseorang. Banyak kasus yang diekspos mengenai kesalahpahaman pengguna media sosial hanya karena kelewat batas, bahkan menimbulkan keonaran/gaduh dan perkelahian phisik, sampai berujung ada pelaporan seseorang kepada orang lain ke pihak yang berwajib.

Sedemikian gagapkah kita sehingga lupa bahwa dalam dunia maya yang berkonotasi berita bohong () itu tidak ada aturan dan tata kramanya ?. Sadar atau tidak, ada norma hukum yang harus dan membatasi masyarakat dalam penggunaan dunia maya, dia tidak dalam ruang hampa yang tanpa batas dan tanpa aturan.

Read More

Berita bohong sering juga disebut hoax, kegiatannya seperti menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta. Penyebaran hoax seringkali dilatarbelakangi oleh ketidakpahaman masyarakat atas kebenaran suatu berita, dan juga dipakai oleh beberapa pihak untuk mendapatkan keuntungan sehingga menimbulkan keonaran atau kesesatan didalam masyarakat.

Delik penyebaran berita bohong (hoax) disebut juga perasaan kebencian diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1946 dan UU ITE (Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronika) yang dilakukan dengan sengaja. Sengaja (dolus) merupakan bagian dari kesalahan yang dilakukan dengan dasar memiliki pengetahuan dan memiliki kehendak untuk mewujudkan delik tersebut secara sadar. Selain itu, pelaku juga memahami konsekuensi dari perbuatan tersebut, yang dapat dibebani pertanggungjawaban atas maupun akibat dari perbuatannya tersebut.

Dengan demikian, ketika pelaku akan menyebarkan kabar bohong/perasaan kebencian maka pelaku memiliki itikad buruk atau sikap batin yang jahat, sehingga pertanggungjawaban pidana dilekatkan pada diri pelaku, seperti pelaku menyebarkan kabar bohong/perasaan kebencian tersebut untuk membuat kelompok tertentu resah/marah atau untuk membuat kegaduhan atau kekacauan.

Aspek lain yang bisa dilihat dari sikap batin jahat ini, yaitu pelaku menghendaki perbuatan tersebut meskipun dirinya tidak menginginkan timbulnya kekacauan atau situasi yang membuat kelompok/individu/agama tertentu terganggu. Pelaku paham perbuatan itu tidak patut dilakukan berdasarkan standard moral/norma yang dipahami masyarakat umumnya.

Apabila seseorang yang memberitahukan kebohongan hingga mengakibatkan keonaran maka ketentuan pidana dapat dikenakan kepadanya, seperti diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana karena dianggap telah menyebarkan berita bohong untuk membuat keonaran, seperti yang ditentukan oleh:

Pasal 14 ayat (1), Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 (sepuluh) tahun. Dalam ayat 2-nya mengatur, Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya 3 (tiga) tahun.

Sedangkan pada Pasal 15 mengatakan, Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 2 (dua) tahun

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dinilai telah menyebarkan informasi untuk menimbulkan kebencian atas dasar Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), yang telah dirubah dengan UU No. 19 tahun 2016, menyubutkan dengan tegas, seperti:

Pasal 28 ayat 2 mengatur, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ancaman pidananya dalam Pasal 45 ayat 2 menentukan, Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Selain pasal berita bohong (hoax) yang marak diberitakan melalui media sosial oleh orang-orang/pelaku yang tidak bertanggunjawab, maka perbuatan pelaku itu jelas akan terjerat Pasal 28 ayat 2 jo Pasal 45 A ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seperti yang telah dijelaskan di atas, karena dinilai telah menyebarkan informasi untuk menimbulkan kebencian atas dasar Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Apabila ada orang yang berbohong yang mengakibatkan terjadinya keonaran atau ketidaktenangan situasi daerah tertentu, orang yang melakukan perkerjaan tidak tenang, panik dan bergejolak, sehingga perbuatan ini masuk dalam delik materiil yang berdampak luas, dan perbuatan pelaku melanggar hukum yang dapat dijatuhi pidana.

Terjeratnya pelaku yang melakukan penyebaran berita bohong dengan UU No. 1 tahun 1946 dan UU ITE karena lewat media sosial yang di baca oleh ribuan bahkan jutaan orang, sehingga berita tersebut berseliweran di dunia maya sebagai wujud riil keonaran itu ada, dan ini presentasi kegaduhan di dunia nyata yang dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat umum.

Sekian dan salam penulis.

Related posts