Gorontalo – Tiga dari 4 bastion Benteng Maas di Kabupaten Gorontalo Utara sedang dicari para peneliti dari Balai Arkeologi Sulawesi Utara. Secara fisik 3 bastion ini sudah tidak ada, namun para peneliti ini sedang mencari struktur fondasi yang masih bisa dilacak sehingga dapat diketahui posisinya.
Peneliti yang diketuai arkeolog Irna Saptaningrum ini, melakukan ekskavasi awal di sisi barat daya benteng yang diperkirakan tempat salah satu bastion yang hilang.
“Satu bastion masih tersisa meskipun kondisinya sudah rusak. Bastion ini berada di sisi timur laut,” kata Irna Saptaningrum, Rabu (1/5/2019).
Dalam penelitan ini para arkeolog menemukan fondasi, pecahan keramik dan stoneware saat menggali reruntuhan Benteng Maas. Temuan fragmen keramik ini berada di kedalaman 52 cm dari permukaan tanah pada awal penggalian di sisi barat daya, yang kondisi tanahnya ditutupi semak dan dijadikan kebun oleh warga.
“Stoneware dan keramik terkait aktifitas kehidupan di dalam Benteng Maas karena berasal dari lapisan budaya yang sama,” kata Irna Saptaningrum, Sabtu (27/4/2019).
Dalam pekan ini, Balai Arkeologi Sulawesi Utara yang memiliki wilayah kerja di 3 provinsi, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah ini, tengah melakukan riset untuk mencari bentuk arsitektur Benteng Maas.
Lokasi benteng ini berada di pesisir utara Gorontalo menghadap Laut Sulawesi, yang berada di pinggir pantai tidak jauh dari sungai.
Belum diketahui pasti siapa yang membangun benteng ini, namun menurut Irma Saptaningrum yang merujuk pada catatan lama, pada masa pemerintahan Raja Biya yang memerintah Kerajaan Limutu, pernah memindahkan ibu kota kerajaan dari Limutu (Limboto) ke Uanengo, nama lama Kota Kwandang saat ini.
“Raja Biya membangun 2 benteng. Apakah keduanya kemudian dikuasai oleh Spanyol, VOC atau lainnya, ini perlu penelitian lebih lanjut,” papar Irna.
Sisa reruntuhan Benteng Maas yang masih bisa disaksikan saat ini adalah bagian bastion di timur laut dan bagian pintu gerbang di sisi barat.
“Penyusun struktur bastion adalah batu karang , andesit, tuva, breksi, granodiorit dan spesinya campuran antara terumbu karang yang dihaluskan dan pasir halus,” kata Agus Trihascaryo, pakar geo-arkeologi yang menjadi anggota tim ekskavasi ini.
Dalam catatan lama disebutkan, pada masanya Benteng Maas ini memiliki 4 bastion, yang tersisa saat ini hanya 1 bastion. Sisa bastion inilah yang saat ini sedang dicari para arkeolog dari Balai Arkeologi Sulawesi Utara.
“Uniknya, bastion yang tersisa berbentuk segi delapan (Oktagon),” Muhammad Chawari, peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta yang juga tim peneliti.
Menurut Wuri Handoko, Kepala Balai Arkeologi Sulawesi Utara, ekskavasi Benteng Maas ini merupakan penelitian tinggalan arkeologi masa kolonial. Riset ini dapat dimaknai sebagai bagian dari sebuah pengalaman bersama dalam menghadapi pengaruh dan kekuatan asing.
“Perjalanan panjang kolonialisasi ini pula yang telah melahirkan bentuk ke-indonesia-an negara ini,” kata Wuri Handoko.
Pemaknaan lain dari riset ini adalah, mengungkap nilai-nilai positif yang telah ada sejak masa kolonial, seperti multikultur, heterogenitas kota yang mulai terbentuk sejak masa kolonial. (rls)